Nana menyibak poni yang menutupi jidatnya dan sebuah perban penuh darah menempel di sana.
"Lu beneran gapapa, Na? Kalau abis kecelakaan lu harusnya istirahat bukan ke sini," ujarku sambil menatap wajahnya. Nana menunduk memandangi jari-jemarinya yang saling memilin gelisah.
"Gue kangen sama lo, Mar," bisiknya lirih, nyaris tak terdengar, seperti berasal dari dunia yang jauh.
"Gue juga kangen sama elu, Na. Lu kan paling rame kalau mabar, suka bawa jajanan lagi," sahutku sambil menepuk pundaknya. "Kita pulang aja, yuk. Remon sama Putra paling udah pada pulang diomelin maknye. Gue juga dari tadi udah di-WA mulu, nih. Gue anterin sampe rumah, ye?"
Nana bangkit dan berjalan ke arah masjid, ke arah rumahku yang terletak di gang sempit dekat Makam Pulo.
"Rumah elu bukannya di Blok H, ya?"
"Gue udah pindah, Mar, tinggal sama Nenek."
Nana berjalan perlahan sambil menunduk. Aku berusaha menjajarinya. Kami berjalan dalam diam sampai melewati warkop lalu belok kanan menyusuri jalan yang tembus ke makam menuju rumahku. Nana berjanji akan memberitahuku di mana rumah neneknya dan aku akan mengantarkannya sampai depan gerbang.
"Sebelah mana rumahnya?"
"Lurus aja, dekat mushola."
Tubuh Nana terlihat sangat ringan, seperti sempoyongan dan bisa jatuh setiap saat. Mungkin karena belum sehat betul, efek habis kecelakaan kemarin. Ingin rasanya aku menggandeng tangannya, atau memeluk pundaknya agar dia tidak jatuh pingsan. Ah, tapi di antara kami kan tidak ada hubungan apa-apa?