Mohon tunggu...
Umi Sakdiyah Sodwijo
Umi Sakdiyah Sodwijo Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pengelana kata yang riang gembira

Pengelana kata yang riang gembira

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pulanglah Kupu-kupu Kecil!

29 November 2021   21:11 Diperbarui: 29 November 2021   21:15 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: kupu-kupu malam (Ilustrasi Liputan6.com/Rino Abonita)

"Mana Nancy?" tanyaku berusaha menginterogasi Lusi yang tertunduk gemetar di pos ronda komplek. Gadis berusia tiga belas tahun itu terlihat seperti tante-tante dengan bulu mata palsu, gincu merah merona dan bedak tebal. Aku nyaris tak mengenalinya, jika saja mantan muridku itu tak memanggil terlebih dahulu. Melihatnya dengan penampilan seperti itu, seperti membuka sebuah catatan kelam yang ditulis dengan darah dan air mata.

"Nancy lagi buka kamar, Bu," sahutnya sambil berusaha menghapus pemerah bibirnya dengan tisu.

Aneh-aneh aja istilah jaman sekarang. Apa itu semacam jadi pembantu untuk bersih-bersih di kontrakan atau kos-kosan? Batinku.

"Buka kamar? Apaan itu?"

"Itu, Bu. Open BO."

Aku berjengit saking terkejutnya, nyaris tak percaya atas ucapan Lusi. Ah, paling juga dia bohong. Aku yakin itu, karena Lusi dan Nancy itu setali tiga uang, jago berbohong. Bahkan belum lama mereka pura-pura polos, tapi diam-diam mencuri handphone di rumahku.

"Jangan bohong, deh. Ibu nggak suka sama pembohong!" sergahku kesal.

"Bener, Bu. Lusi nggak bo'ong. Minggu depan dia baru balik."

"Astaghfirullah!" Aku hanya bisa menyebut asma Allah. Hatiku teriris, seperti ada sembilu yang menyayat-nyayat dan melubangi hatiku. Perih! Anak usia dua belas tahun sudah terjun ke dunia hitam?

Bahkan di sinetron Kumenangis pun, aku belum pernah menonton kisah seperti itu. Ini ada di depan hidungku sendiri. Allah, kehidupan seperti apa ini?

"Hape Ibu sudah dijual sama Nancy, buat makan kami berdua. Maaf ya, Bu," ujarnya nyaris seperti berbisik.

Aku tak mampu berkata-kata lagi, hanya berusaha untuk tetap tersenyum di depan Lusi.

"Udah, nggak apa-apa. Nggak usah dipikirin. Cuma tolong lain kali, jangan mencuri lagi, ya? Janji?" Aku meraih tangan remaja malang itu dan berusaha meyakinkannya. 

***

Aku mengenal Lusi -- gadis kecil yang bandel dan tidak disukai kawan-kawannya -- saat mengajar di kelas tiga SD. Sebenarnya ia cukup cerdas, hanya saja sulit dinasihati dan tak tahu aturan.

Lusi tinggal di panti asuhan. Sebelumnya ia berpindah-pindah tempat dari emper rumah tetangga yang satu ke siapa saja yang mau memberinya sekedar makan dan tempat menginap.

Karena kasihan, kerabat ibu Lusi berbaik hati menampungnya di rumah. Malang bagi gadis kecil itu, karena kerap bertengkar dengan sepupunya, ia pun dititipkan di panti asuhan. Pihak panti pun menyekolahkan Lusi di tempatku mengajar.

Mungkin kalian bertanya, kemana orang tuanya? Menurut kabar, kedua orang tuanya berpisah. Sang ayah tak ada kabar, dan ibunya gonta-ganti pasangan, lalu menikah dengan seorang bujangan. Sejak saat itu, ibu Lusi menyerahkan pengasuhan anaknya ke jalanan yang lebih liar dari hutan belantara.

Beberapa kali Lusi ke rumah, kangen katanya. Kami menerimanya dengan tangan terbuka, memberinya makan seadanya, baju salin, dan uang jajan saat ia berpamitan untuk kembali ke panti.

"Langsung pulang, ya, jangan keluyuran."

"Iya, Bu. Langsung pulang, kok."

Begitu katanya selalu tiap berkunjung ke rumahku. Belakangan, aku baru tahu dari pengurus panti kalua Lusi berbohong. Terbiasa hidup tanpa aturan di jalanan, membuat Lusi tak betah hidup di panti dengan peraturan yang ketat. Pagi sekolah, sore mengaji dan belajar.

Lusi pun kabur dan bertahan hidup entah dengan apa, di ibu kota yang bengis. Jika ibu kandungnya bisa begitu kejam menolaknya membukakan pintu rumah, bagaimana mungkin ibu kota bisa lebih berbelas kasih?

***

"Bu, Lusi pergi dulu, ya."

Aku tergeragap, saat tangan remaja dengan cat kuku merah itu menyalamiku dan mengguncangnya cukup keras.

"Ka ... kamu, mau ke mana?"

"Aku kerja, Bu. Cuci gosok di rumah tetangga. Ibu nggak usah khawatir, ya?"

"Kamu mending pulang kampung aja, bukannya bapak kamu udah ketemu dan sekarang tinggal di kampung?"

"Emang udah ketemu, Bu. Tapi udah meninggal, dimakamin di kampung!" ujarnya dengan muka datar, tanpa ada segaris kesedihan pun di sana. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman, yang entah kenapa terasa getir, dan membuat dadaku sesak dan kesulitan bernapas.

Aku memeluknya erat dan melepas kepergian remaja itu dengan pandangan nanar. Kaki kurusnya yang terbalut celana jins robek-robek melangkah gontai, mengeja kehidupan. Kupandangi punggungnya sampai menghilang di kelokan jalan, bersatu dengan gelapnya dunia malam.

Aroma parfumnya yang begitu menyengat masih tertinggal di bajuku. Aku yakin dia tidak bekerja sebagai asisten rumah tangga. Tapi, aku bisa apa? Aku hanya sibuk merutuki kedua orang tuanya yang begitu tega membuangnya ke dunia yang begitu kejam.

Lalu, apa bedanya orang tua Lusi dan Nancy dengan diriku? Lihatlah, aku tak mampu berbuat apa-apa! Tuhan, ampuni diriku yang hina dina ini!

 

(Tamat)

Dini hari di JKT, 02-10-2021.

Sumber gambar: 1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun