"Hape Ibu sudah dijual sama Nancy, buat makan kami berdua. Maaf ya, Bu," ujarnya nyaris seperti berbisik.
Aku tak mampu berkata-kata lagi, hanya berusaha untuk tetap tersenyum di depan Lusi.
"Udah, nggak apa-apa. Nggak usah dipikirin. Cuma tolong lain kali, jangan mencuri lagi, ya? Janji?" Aku meraih tangan remaja malang itu dan berusaha meyakinkannya.Â
***
Aku mengenal Lusi -- gadis kecil yang bandel dan tidak disukai kawan-kawannya -- saat mengajar di kelas tiga SD. Sebenarnya ia cukup cerdas, hanya saja sulit dinasihati dan tak tahu aturan.
Lusi tinggal di panti asuhan. Sebelumnya ia berpindah-pindah tempat dari emper rumah tetangga yang satu ke siapa saja yang mau memberinya sekedar makan dan tempat menginap.
Karena kasihan, kerabat ibu Lusi berbaik hati menampungnya di rumah. Malang bagi gadis kecil itu, karena kerap bertengkar dengan sepupunya, ia pun dititipkan di panti asuhan. Pihak panti pun menyekolahkan Lusi di tempatku mengajar.
Mungkin kalian bertanya, kemana orang tuanya? Menurut kabar, kedua orang tuanya berpisah. Sang ayah tak ada kabar, dan ibunya gonta-ganti pasangan, lalu menikah dengan seorang bujangan. Sejak saat itu, ibu Lusi menyerahkan pengasuhan anaknya ke jalanan yang lebih liar dari hutan belantara.
Beberapa kali Lusi ke rumah, kangen katanya. Kami menerimanya dengan tangan terbuka, memberinya makan seadanya, baju salin, dan uang jajan saat ia berpamitan untuk kembali ke panti.
"Langsung pulang, ya, jangan keluyuran."
"Iya, Bu. Langsung pulang, kok."