Begitu katanya selalu tiap berkunjung ke rumahku. Belakangan, aku baru tahu dari pengurus panti kalua Lusi berbohong. Terbiasa hidup tanpa aturan di jalanan, membuat Lusi tak betah hidup di panti dengan peraturan yang ketat. Pagi sekolah, sore mengaji dan belajar.
Lusi pun kabur dan bertahan hidup entah dengan apa, di ibu kota yang bengis. Jika ibu kandungnya bisa begitu kejam menolaknya membukakan pintu rumah, bagaimana mungkin ibu kota bisa lebih berbelas kasih?
***
"Bu, Lusi pergi dulu, ya."
Aku tergeragap, saat tangan remaja dengan cat kuku merah itu menyalamiku dan mengguncangnya cukup keras.
"Ka ... kamu, mau ke mana?"
"Aku kerja, Bu. Cuci gosok di rumah tetangga. Ibu nggak usah khawatir, ya?"
"Kamu mending pulang kampung aja, bukannya bapak kamu udah ketemu dan sekarang tinggal di kampung?"
"Emang udah ketemu, Bu. Tapi udah meninggal, dimakamin di kampung!" ujarnya dengan muka datar, tanpa ada segaris kesedihan pun di sana. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman, yang entah kenapa terasa getir, dan membuat dadaku sesak dan kesulitan bernapas.
Aku memeluknya erat dan melepas kepergian remaja itu dengan pandangan nanar. Kaki kurusnya yang terbalut celana jins robek-robek melangkah gontai, mengeja kehidupan. Kupandangi punggungnya sampai menghilang di kelokan jalan, bersatu dengan gelapnya dunia malam.
Aroma parfumnya yang begitu menyengat masih tertinggal di bajuku. Aku yakin dia tidak bekerja sebagai asisten rumah tangga. Tapi, aku bisa apa? Aku hanya sibuk merutuki kedua orang tuanya yang begitu tega membuangnya ke dunia yang begitu kejam.