Hidupku terasa sempurna beristrikan seorang kembang desa bernama Shinta. Apalagi setelah kehadiran tiga putri yang cantik-cantik dan pintar. Itu sebelum kejadian bulan lalu. Ya, sekembalinya Shinta dari kampung halaman sebulan lalu, hidupku berubah 180 derajat.Â
Aku menyesal telah mengijinkan Bram yang dibawa Shinta dari Solo itu tinggal di rumah kami. Rumah yang nyaman kini bagaikan neraka. Dia bak duri dalam daging. Atau laksana memelihara anak singa yang suatu saat akan memakan tuannya.
Perhatian istriku yang cantik itu kini tertuju padanya. Siang, malam, bahkan saat aku libur yang biasanya kami habiskan untuk berduaan merenda kasih juga dirampas olehnya. Aku benar-benar muak!
"Shin, besok Minggu kita ke pantai yuk, sambil cari inspirasi buat bahan tulisanmu," ajakku merayu. Biasanya dia paling semangat kalau diajak jalan-jalan.
"Males, ah, Kangmas! Besok mau nemenin Bram jalan-jalan," jawab Shinta sambil berlalu.
Huh! Benar, kan, dia lebih mementingkan Bram daripada suami sendiri! Batinku kesal. Ke pantai gagal, ke toko buku pasti mempan!
"Kalo ke toko buku gimana? Diajeng boleh beli buku apa aja, berapa aja, Kangmas beliin! Mau ya?" rayuku lagi sambil menjawil pipinya yang cabi. Kali ini rayuan mautku pasti mempan dan bisa menjauhkannya dari Bram yang menyebalkan itu.
"Lain kali aja, ya, Kangmas ... aku udah terlanjur punya planning sama Bram!" tukasnya sambil berlalu ke tempat biasa ia bercengkrama berdua dengan sosok berkumis itu.
Minggu lalu gagal kencan, minggu ini harus berhasil.
"Jeng, weekend kita nginep di vila yuk! Anak-anak kan udah lama nggak jalan-jalan," kataku mengajaknya liburan. Kalau sudah membawa anak-anak, hatinya pasti luluh!