"Hari ini terakhir kali kita ketemu," bisiknya sambil menyandarkan kepala di bahuku.
Aku berjengit kaget, tak siap dengan kata-kata perpisahan yang ia ucapkan. "Kenapa cepat sekali? Bukankah kau tinggal di daerah sini? Liburanku masih lama, seminggu lagi baru balik ke Jakarta."
"Besok temui aku di bawah sana, selepas azan subuh berkumandang," ujarnya sambil menunjuk garis pantai di bawah tebing. Suaranya terdengar bergetar, jauh, seperti berasal dari alam lain. Gadis cantik yang membuatku mabuk kepayang itu berdiri. melangkah pergi dan meninggalkanku yang masih duduk terpaku, seperti terhipnotis.
"Tunggu, Puteri!"
Terlonjak, aku berusaha melepaskan diri dari batu karang yang tiba-tiba terasa hidup dan menjeratku. Kukejar bayangannya yang semakin menjauh. Kurengkuh tubuhnya dan kudekap erat, tak rela untuk melepaskan.
***
Esok harinya, selepas sholat subuh aku berkejaran dengan waktu ke arah pantai, ke tempat di mana kami berjanji untuk bertemu yang terakhir kalinya.
Sejauh mata memandang, tak ada laut, pantai atau pasir putih. Semua telah berubah menjadi lautan manusia. Aku berlarian kesana kemari, menyibak orang-orang yang sedang terbungkuk-bungkuk memegang nyiru dan berbagai perlengkapan lainnya.
"Puteri ... Puteri ....!" Aku berteriak-teriak seperti orang gila, memanggil-manggil namanya. Tiba-tiba, sebuah ombak datang menyibak kerumunan, berkilauan, memantulkan cahaya obor yang dipegang orang-orang. Lidah ombak itu seperti tumpahan ember raksasa, memuntahkan sesuatu yang ia bawa dari kedalaman laut.
Mataku mengerjap. Kulihat tubuh Puteri Mandalika, tipis, tanpa daging, tersenyum ke arahku. Ia berdiri mengambang di atas ribuan cacing laut berwarna-warni yang menggeliat-geliat di pasir pantai.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Lalu semua menjadi gelap. Aku jatuh dalam pelukan Puteri Mandalika yang telah berubah menjadi gundukan cacing-cacing Mandalika Nyale.