Pantai Mandalika
Aku duduk di atas ayunan dengan tali biru yang digantung di atas sepasang kayu bulat berwarna merah jambu. Laut Tanjung Aan yang biru dan mengalun tenang, tak mampu mengalihkan pikiranku dari gadis berambut hitam berombak sepinggang yang duduk di ayunan sebelahku.
"Kalau kau keberatan, aku akan pindah ke tempat lain," teriakku mengatasi desau angin dan deburan ombak yang menghantam bukit karang. "Mungkin kau sedang menunggu seseorang?"
"Oh, tidak. Sama sekali tak mengganggu. Aku tidak sedang menunggu siapa-siapa. Laut sudah seperti rumah buatku, dan pantai adalah halamannya," sahutnya pelan, terdengar lebih mirip gumaman. Aku pun menghentikan ayunan, menjejak tanah, dan menghadap ke arah gadis itu.
Menurutku dia bukan seorang gadis, tapi bidadari, atau mambang laut! Seumur hidupku, aku belum pernah bertemu gadis secantik dia. Wajahnya begitu proporsional dengan kulit eksotik dan senyumnya yang hangat sanggup melelehkan hati seluruh kaum adam di muka bumi ini.
"Namaku Panji, tapi bukan Panji sang Petualang, walaupun aku suka berpetualang."
"Namaku Puteri. Puteri Mandalika, karena aku lahir dan besar di daerah sini."
Kami pun cepat menjadi akrab. Entah kenapa aku merasa begitu dekat padanya dan seperti telah mengenalnya selama bertahun-tahun. Aku pun menceritakan tujuan utamaku pergi ke Lombok, mengikuti festival Bau Nyale yang akan dilaksanakan di pantai ini minggu depan.
Aku sengaja datang lebih awal, memenuhi undangan Inaq Rose, sahabat ibuku yang tinggal di Desa Pujut dekat lokasi festival Bau Nyale.
"Kenapa kau datang sendirian? Sangat jarang gadis Sasak secantik dirimu masih menjomlo," ujarku berkelakar.