Mohon tunggu...
Umi Sakdiyah Sodwijo
Umi Sakdiyah Sodwijo Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pengelana kata yang riang gembira

Pengelana kata yang riang gembira

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Setelah Jadi Penulis, Saya Tak Malu Lagi untuk Datang Reunian

6 April 2017   00:23 Diperbarui: 6 April 2017   09:00 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seharusnya saya bangga menjadi seorang ibu rumah tangga dengan empat orang anak. Karena, ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang sangat mulia. Pahala bekerja di rumah itu setara dengan mati syahid. Tapi, sebagai manusia biasa, saya tetap kurang pede saat berkenalan dengan orang. Apalagi saat bertemu dengan teman-teman sekolah yang nyaris menjadi orang sukses semua.

"Kerja di mana sekarang?" Itu adalah pertanyaan basa-basi yang sering kita lontarkan saat bertemu dengan teman sekolah.

"News Anchor TV Anu."

"Produser TV Anu."

"Dokter spesialis rumah sakit Nganu."

"Dosen PTN Nganu."

"Manager Perusahaan Anu (sambil menyebut daerah Thamrin, Soedirman, atau Kuningan)."

"Kalau kamu?" kata mereka balik bertanya.

"Ibu rumah tangga." 

Jawaban saya tentu dengan berbisik, tangan agak gemetar dan muka tertunduk agak gemana gitu. Nggak pede sama sekali. Benar-benar sebuah pekerjaan yang membuat punggung saya susah ditegakkan. Padahal harusnya saya bangga bukan main. Berdiri tegak, dada membusung, muka sumringah, dan menjawab dengan riang gembira.

Tapi itu hanya bayangan saya, itu pun sudah cukup menakutkan. Saya sering berandai-andai. Seharusnya saya ada di posisi seperti mereka. Minimal jadi reporter atau wartawan surat kabar seperti cita-cita saat sekolah dulu. Tapi nasi sudah dimakan habis. Kalau cuma jadi bubur, sih, masih mending. Enak dimakan. Apalagi kalau ditambah dengan ayam dan kerupuk :D :D 

Akhirnya saya belajar menulis. Walaupun hanya menulis status facebook, tapi saya sudah cukup bangga. Siapa yang bilang bikin status facebook itu mudah? Wong kadang saya harus mikir ngalor ngidul dulu untuk menjawab pertanyaan Mas Mark yang selalu bikin keki. "Apa yang Anda pikirkan sekarang?" Kadang saya jawab "Mikirin kamu!" Tapi itu udah terlalu sering. Terus saya jawab "Kepo, Lu!" Besoknya saya jawab "Nggak mikirin apa-apa, wong nggak punya pikiran babar blasss!!" Tapi ya itu, Mas Mark emang baik hati, jadi nggak pernah marah. Tetep perhatian dan selalu nanya apa yang saya pikirkan. 

Dari facebook, saya belajar menulis di blog. Termasuk belajar menulis di Kompasiana ini. Status-status facebook itu, juga yang bertebaran di blog dan Kompasiana, dengan sabar saya kumpulkan. Setelah tiga tahunan, jadilah tiga buah buku. Dua buah buku kumpulan fiksimini humor, dan satu buah buku kumpulan cerpen. Nah, baru deh saya merasa resmi menjadi penulis sungguhan. Padahal tiga buku saya itu dari penulis, editor, lay outer, penerbit dan marketingnya saya borong sendiri. Laku? Alhamdulillah best seller se-RT :D :D 

Sejak saat itu, saya dengan bangga menuliskan pekerjaan sebagai PENULIS. Dan, jadi lebih pede kalau bertemu bahkan reunian dengan teman-teman sekolah dan kuliah yang hebat-hebat, yang saya kagumi. Mereka adalah sosok yang sering saya ceritakan kepada anak-anak. Teman-teman saya itu, sejak sekolah memang tekun, cerdas, baik dan supel. Tidak pernah membeda-bedakan teman. Suka bergaul dengan semua siswa sekolah, bahkan dengan saya yang hanya seorang anak petani dari desa. 

Sampai sekarang, saya masih belajar untuk menjadi penulis sungguhan. Agar tidak hanya menjadi lebih bangga saat bertemu dengan teman lama, tapi juga bisa menginspirasi semua orang di dunia. Minimal, dengan menulis saya bisa berbagi kisah dengan seluruh orang di dunia, dari rumah mewah saya yang bertipe RS11 (rumah sangat sempit sekali selonjor saja susah sempet-sempetnya senyum senyum sendiri). 

Dengan menulis, kita bisa mengurangi budaya mengomel. Menulis juga bisa dijadikan terapi agar kita tetap waras menghadapi carut marut jaman yang semakin edan, seperti kata seorang penulis dalam buku Koplakivator, Menulislah agar kau tidak gila (Koplakivator, USS). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun