Akhirnya saya belajar menulis. Walaupun hanya menulis status facebook, tapi saya sudah cukup bangga. Siapa yang bilang bikin status facebook itu mudah? Wong kadang saya harus mikir ngalor ngidul dulu untuk menjawab pertanyaan Mas Mark yang selalu bikin keki. "Apa yang Anda pikirkan sekarang?" Kadang saya jawab "Mikirin kamu!" Tapi itu udah terlalu sering. Terus saya jawab "Kepo, Lu!" Besoknya saya jawab "Nggak mikirin apa-apa, wong nggak punya pikiran babar blasss!!" Tapi ya itu, Mas Mark emang baik hati, jadi nggak pernah marah. Tetep perhatian dan selalu nanya apa yang saya pikirkan.Â
Dari facebook, saya belajar menulis di blog. Termasuk belajar menulis di Kompasiana ini. Status-status facebook itu, juga yang bertebaran di blog dan Kompasiana, dengan sabar saya kumpulkan. Setelah tiga tahunan, jadilah tiga buah buku. Dua buah buku kumpulan fiksimini humor, dan satu buah buku kumpulan cerpen. Nah, baru deh saya merasa resmi menjadi penulis sungguhan. Padahal tiga buku saya itu dari penulis, editor, lay outer, penerbit dan marketingnya saya borong sendiri. Laku? Alhamdulillah best seller se-RT :D :DÂ
Sejak saat itu, saya dengan bangga menuliskan pekerjaan sebagai PENULIS. Dan, jadi lebih pede kalau bertemu bahkan reunian dengan teman-teman sekolah dan kuliah yang hebat-hebat, yang saya kagumi. Mereka adalah sosok yang sering saya ceritakan kepada anak-anak. Teman-teman saya itu, sejak sekolah memang tekun, cerdas, baik dan supel. Tidak pernah membeda-bedakan teman. Suka bergaul dengan semua siswa sekolah, bahkan dengan saya yang hanya seorang anak petani dari desa.Â
Sampai sekarang, saya masih belajar untuk menjadi penulis sungguhan. Agar tidak hanya menjadi lebih bangga saat bertemu dengan teman lama, tapi juga bisa menginspirasi semua orang di dunia. Minimal, dengan menulis saya bisa berbagi kisah dengan seluruh orang di dunia, dari rumah mewah saya yang bertipe RS11 (rumah sangat sempit sekali selonjor saja susah sempet-sempetnya senyum senyum sendiri).Â
Dengan menulis, kita bisa mengurangi budaya mengomel. Menulis juga bisa dijadikan terapi agar kita tetap waras menghadapi carut marut jaman yang semakin edan, seperti kata seorang penulis dalam buku Koplakivator, Menulislah agar kau tidak gila (Koplakivator, USS).Â