"Yah, kan, wajar. Mana ada teman biasa, trus kemana-mana minta diantar. Trus mereka itu seangkatan, temenan udah lama. Kan banyak cerita, awalnya teman trus jadian." Intan berusaha membela diri. Ida hanya menggelengkan kepalanya.
"Trus giliranmu kapan? Kondangan terus, kapan kirim undangan?" todong Intan yang dibalas Ida dengan senyuman kecut.
"Tunggu tanggal mainnya, dong. Jagoan itu menangnya belakangan," elak Ida diplomatis. Ida, teman baik Intan yang berusaha menjaga diri dengan memilih ta'aruf untuk mencari pendamping hidupnya.
*
Hari-hari berikutnya Intan disibukkan dengan mengurus berbagai macam pernak-pernik pernikahan. Selain surat-surat dan berbagai urusan yang berhubungan dengan pekerjaan, Intan sepenuhnya menyerahkan kepada orang tuanya. Apalagi karena jarak rumah dan tempat kerjanya yang tidak memungkinkan ditempuh dalam satu hari pulang pergi, sementara Intan baru bisa cuti H-1. Intan pasrah sepenuhnya dengan pilihan orang tuanya.Â
Sesekali Intan juga membantu persiapan di rumah Bagas. Hingga suatu hari, Intan mendengar Bagas membentak ibunya. Intan kaget mendengarnya. Selama ini Bagas selalu bersikap baik, bertutur dengan kalimat yang sopan dan santun. Tapi tidak kali ini.Â
Intan terdiam. Melihat perubahan sikap Intan, Bagas sadar, kemudian segera mengantarkan Intan pulang. Bagas meminta maaf, Intan menolak dan mengatakan kalau seharusnya Bagas meminta maaf kepada ibunya. Bagas pun berkata kalau dia akan meminta maaf kepada ibunya begitu pulang ke rumah. Bagas merasa sedikit banyak pernikahan ini membuatnya sedikit stress. Hal ini yang membuat dia tidak bisa mengontrol emosi.
Intan memahami, dalam hati kecilnya dia juga merasakan hal yang sama. Stress, khawatir dan takut. Intan takut kalau pernikahannya nanti tidak seindah ekspektasinya. Intan takut kalau nanti mengecewakan banyak orang. Intan takut Bagas akan berubah sikap, bahkan Intan takut Bagas tidak datang saat hari H-nya tiba nanti.
*
Beberapa bulan kemudian ....
"Yang, besok Minggu ada sepeda santai ke pantai, kita ikutan, ya."