Saya termasuk diantara dua jutaan orang yang baru saja nonton film KKN di desa Penari (per 14 Mei 2022 sudah menembus 5 juta penonton) yang klaimnya genre horror, tapi saya tidak ketakutan. Bukan karena saya bukan penakut, dan bukan pengemar film horor, namun saat menonton Senin  minggu lalu, saya duduk sendirian di koridor (agar mudah kalau keluar).Â
Di kursi yang saya duduki, dalam satu lajurnya tak ada orang duduk disisi kanan baris ketiga sampai ujung tembok. Padahal saat pesan tiket semua kursi penuh, yang kosong satu kursi disisi paling kiri koridor dan kursi ke 4 tengah.Â
Saya menonton berdua teman, akhirnya berjauhan posisi kursinya, beda baris. Tetap demi memaksa kecocokan waktu-nya, tentu karena usaha book online gagal. Beli tiket On the spot masih untung ada beberapa kursi kosong, ya tadi meski berjauhan nomornya.Â
Film yang sudah dinantikan penggemar film horor lebih dari 2 tahun  akhirnya bisa tayang di bioskop. Dua tahun tertahan pandemi, dan menurut saya marketingnya bagus, mumpuni, sehingga saking populernya menarik animo,  bisa mengalahkan film produksi Marvel yang lagi hit. Padahal filmnya tidak horror, tidak mencekam dan kurang drama.
Usai nonton film ini yang kebayang hanya Mbah Dok, "jin" yang mendampingi Nur, dan tidak seram, meskipun saya sedang tinggal dirumah sendirian, dan tak jauh dari tempat tinggal saya ada rumah kosong yang kabarnya sering muncul penampakan. Mungkin karena memang saya tidak takut dengan bangsa Jin, karena menurut saya mereka juga mahluk yang hidup di bumi berdampingan dengan mahluk lainnya, dengan eksistensi dan cara hidup di dunianya sendiri, suatu bagian dari penciptaan Sang Pencipta
Saya tergerak menonton film ini karena "hantu", "jin"-nya perempuan yang memakai pakaian penari tradisional, yang dari musik dan gamelannya mengindikasikan berasal dari Jawa.Â
Saya ingin tahu apa yang ditampilkan di film ini, apakah ada yang mengusik kecintaan saya terhadap budaya tari dan keseniannya. Tak ada. Kebetulan saja, jin yang menjadi penguasa di desa yang namanya disamarkan itu mengambil sosok penari.
 Filmnya memainkan kamera blur untuk latar belakang. Sepertinya bertujuan mensamarkan sosok-sosok yang mungkin ada dipikiran penonton, atau memainkan emosi dengan kesamaran, agar penonton tambah kepo. Saya mah terganggu.Â
Musiknya kurang membawa emosi, pilihan perkusi lebih cocok untuk film thriller dibanding horror. Ini horrornya lebih pada kejutan sosok yang tiba-tiba ada, atau yang sudah ada diperjelas, namun karena para pemain dan dialog yang kurang dalam dan tidak bernas sehingga emosi pemainnya kurang tergali. Kelemahan skenario disini bicara.
Secara global film ini memang berasal dari kisah nyata, dan menyajikan suatu faktual fenomenal "kegaiban" yang biasa terjadi di Indonesia, di pedalaman hutan maupun di pegunungan. Suara gamelan, doppleganger saat ada beberapa sosok sama dalam satu waktu yang ditemui Widya. Pakai mukena pulak!  Mimpi para tokoh yang sangat nyata. Puspo tajem. Namun dari itu semua, sesungguhnya masih banyak yang digali sebelum tiba pada ending yang tragis.
Misalnya, kebanyakan anak sekarang (mahasiswa) tidak memahami kultur unggah-ungguh,sopan santun di negeri orang, atau di tempat asing. Anak-anak gunung, pecinta alam paham soal ini. Dengan enam orang mahasiswa yang KKN ini (3 putra 3 putri) , bisa jadi memang menampilkan fenomena keabaian kultur tersebut, istilah betawinya numpang-numpang, jaga etika, jaga diri terhadap  lingkungan yang didatangi. Patuhi pantangan, hormati adat istiadat, yang pasti tidak bicara sembarang.Â
Jangankan berbicara, seperti yang dialami Wahyu (Fajar Nugra) dan Widya (Adinda Thomas) ketika motornya mati sehingga dibawa ke tempat tertentu. Tak hanya berbicara, berpikiran dalam otak dan hatipun harus berpikiran baik, demi semua baik. Bukankah mimpi yang dialami para tokoh film ini bagian dari pikiran ketika sedang tertidur?
Banyak hal yang bisa digali untuk eksploitasi, paling tidak yang sedikit ada positifnya dari KKN itu, misalnya bagaimana ada pekerjaan proyek di sendang Sinden, rampung atau tidak. Jadi tak sebatas nulis-nulis dan lihat-lihat Widya dan Nur (Tissa Biani). Interaksi dengan warga juga kan pasti ada, selain warga gaib tentunya.
 Paling menarik adalah peran dari Mbah Buyut (Diding Boneng), yang adalah warga desa tetangga, namun berlaku sebagai tetua di desa Penari, termasuk yang stealing scene, terlebih ternyata bisa mengubah diri menjadi aning hitam. Adapun yang dikatakan oleh Pak Prabu (Kiki Narendra ) yang menerima para mahasiswa peserta KKN agar menjaga perilaku, dan adalah Widya (bahasa Sangsekerta artinya Baik, Kebaikan) yang terpilih dan terjaga.
Film ini lumayan mampu mengajak penonton untuk tidak pergi dari kursi di bioskop dan menonton sampai habis, menunggu endingnya. Artinya kekepoan terjaga sampai akhir, sehingga mengetahui adanya kematian nyata, mahasiswa KKN, kalau dalam bahasa kami dimakan wewe/butho....
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H