Misalnya, kebanyakan anak sekarang (mahasiswa) tidak memahami kultur unggah-ungguh,sopan santun di negeri orang, atau di tempat asing. Anak-anak gunung, pecinta alam paham soal ini. Dengan enam orang mahasiswa yang KKN ini (3 putra 3 putri) , bisa jadi memang menampilkan fenomena keabaian kultur tersebut, istilah betawinya numpang-numpang, jaga etika, jaga diri terhadap  lingkungan yang didatangi. Patuhi pantangan, hormati adat istiadat, yang pasti tidak bicara sembarang.Â
Jangankan berbicara, seperti yang dialami Wahyu (Fajar Nugra) dan Widya (Adinda Thomas) ketika motornya mati sehingga dibawa ke tempat tertentu. Tak hanya berbicara, berpikiran dalam otak dan hatipun harus berpikiran baik, demi semua baik. Bukankah mimpi yang dialami para tokoh film ini bagian dari pikiran ketika sedang tertidur?
Banyak hal yang bisa digali untuk eksploitasi, paling tidak yang sedikit ada positifnya dari KKN itu, misalnya bagaimana ada pekerjaan proyek di sendang Sinden, rampung atau tidak. Jadi tak sebatas nulis-nulis dan lihat-lihat Widya dan Nur (Tissa Biani). Interaksi dengan warga juga kan pasti ada, selain warga gaib tentunya.
 Paling menarik adalah peran dari Mbah Buyut (Diding Boneng), yang adalah warga desa tetangga, namun berlaku sebagai tetua di desa Penari, termasuk yang stealing scene, terlebih ternyata bisa mengubah diri menjadi aning hitam. Adapun yang dikatakan oleh Pak Prabu (Kiki Narendra ) yang menerima para mahasiswa peserta KKN agar menjaga perilaku, dan adalah Widya (bahasa Sangsekerta artinya Baik, Kebaikan) yang terpilih dan terjaga.
Film ini lumayan mampu mengajak penonton untuk tidak pergi dari kursi di bioskop dan menonton sampai habis, menunggu endingnya. Artinya kekepoan terjaga sampai akhir, sehingga mengetahui adanya kematian nyata, mahasiswa KKN, kalau dalam bahasa kami dimakan wewe/butho....
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H