Secuplik Kisah dibelakang Kongres Perempuan I 22 Desember 1928 dan Kongres II, 1929Â
Banyak cerita menarik dibalik pelaksanaan Kongres Perempuan I, peristiwa yang menjadi momentum utama dalam Pergerakan Perempuan Indonesia.  Ketua Pelaksana Kongres I, Suyatin memilih memutuskan dua orang tunangannya (saat mempersiapan Kongres yang berbeda tahun), ketimbang mengabaikan Tugas Ketua Pelaksana Kongres, akhirnya Suyatin mendapatkan suami yang mendukung perjuangannya memajukan perempuan lewat organisasi.
Salah seorang relawan Kongres (karena tidak duduk sebagai panitia), bernama Mugarumah, guru lulusan Normaalschool, sakit-sakitan, namun bersikeras membantu persiapan Kongres I, ia meninggal usia muda karena tuberkolosis, meninggalkan wasiat sebagian harta yang diperoleh pribadi bagi Pergerakan Perempuan, dalam Yayasan Sri Derma yang memberi beasiswa pada murid perempuan tak mampu.
Pada Kongres II, 1929 di gang Kenari Jakarta Pekik "merdeka, merdeka, merdeka" memenuhi ruangan, polisi kolonial kelihatan resah seperti hendak membubarkan kongres, dengan cepat sidang ditutup, sidang selanjutnya dilaksanakan secara tertutup.Â
Kongres Perempuan I adalah suatu pertemuan yang menjadikan bahasa Melayu (Bahasa Indonesia), sebagai pengantar baik dalam percakapan sehari-hari maupun dalam pertemuan/sidang, sehingga para peserta yang sebelumnya terbiasa berbahasa Belanda harus belajar bahasa Melayu. Belanda agak ketat mengawasi, acara berdekatan waktunya dengan penangkapan Bung Karno.
Dua laki-laki berjasa meminjamkan tempat, yang Pertama di Yogyakarta, Joyodipuro dan yang Kedua keluarga MH Thamrin. Ki Hajar Dewantoro termasuk yang memberi sambutan dalam Kongres I, dan menutup sambutannya dengan tembang Witing Kelopo karya Ronggowarsito, yang melambangkan perempuan sebagai mahluk yang sanggup mengatur masyarakat.
Tulisan ini hendak mencoba mengidentifikasi laki-laki, pejuang, maupun yang telah terdaftar sebagai Pahlawan Nasional sebagai pendukung Pergerakan Perempuan, sejak sebelum Indonesia Merdeka hingga 1955. Adapun Kepala Negara, Presiden, Perdana Mentri, atau Wakil Presiden tidak dimasukkan, karena telah termasuk dalam jabatannya untuk mendukung perjuangan keseteraan gender, yaitu: Soekarno. Moh.Hatta , Ali Sastroamidjojo, Syahrir.
Laki-laki Anggota dan Pemimpin Organisasi Pergerakan Nasional
Perjuangan pemuda dalam pergerakan nasional melalui organisasi yang bersifat modern telah mulai mengenal istilah emansipasi, yang dipopulerkan RA Kartini dalam bukunya yang terbit 1911 Â Door Duisternis tot Licht (1911) terjemahan Arijn Pane "Habis Gelap Terbitlah Terang" 1939.Â
Bagi para lelaki yang tergabung dalam pergerakan Kartini bukanlah sosok asing, karena pada umumnya yang ikut dalam organisasi pergerakan adalah kaum terpelajar dan dapat berbahasa Belanda.
Pergerakan Perempuan dalam konteks ini adalah perjuangan perempuan sebelum kemerdekaan hingga Revolusi Kemerdekaan seputar Agresi militer Belanda 1947-1949.Â