Dalam tafsir Ibnu Katsir dituliskan, sejumlah ulama melarang menerima berita (riwayat) dari orang yang tidak dikenal, karena barangkali dia adalah orang yang fasik. Tetapi sebagian ulama lainnya mau menerimanya dengan alasan bahwa hanya diperintahkan untuk meneliti kebenaran berita orang fasik, sedangkan orang yang tidak dikenal (majhul) masih belum terbukti kefasikannya karena dia tidak diketahui keadaannya.
Meski memberi banyak informasi, kebenaran info di sosial media sulit dipertanggungjawabkan. Data yang diisi saat seseorang membuat akun sangat rentan pemalsuan. Juga masih bebasnya akun-akun berkontens tidak mendidik yang bertebaran di sosial media. Untuk itu, menjadi sebuah kewajiban bagi setiap pengguna sosial media menilai berkali-kali sebuah informasi. Â Â
Beberapa kasus penistaan agama akhirnya dilaporkan ke pihak kepolisian. Meskipun terlapor sudah meminta maaf atau menonaktifkan akun sosial media yang bersangkutan namun proses hukumnya tetap dilanjutkan. Penyesalan dari pelaku seolah tidak berarti, sebab dampak perbuatannya sudah terlanjur menyebar.
Kerukunan beragama bukan sebuah konsep. Melainkan praktek keberagamaan itu sendiri. Kesadaran akan kerukunan beragama sangat baik jika ditanamkan sejak dini melalui institusi keluarga. Serta diciptakan iklim yang mendukung kerukunan beragama oleh pemerintah, lembaga pendidikan, pihak terkait dunia IT serta segenap pengguna sosial media.
Manusia beragama tentu berkeinginan hidup dalam kedamaian. Islam memberi garansi sebagai agama cinta dan kasih. Al-Qur’an menggariskan aturan hidup berdampingan dengan siapapun. Rasulullah menjadi tauladan pribadi muslim dengan keindahan ahklak, bahkan dengan orang berbeda keyakinan. Maka, masih adakah ruang untuk berlaku buruk mengatasnamakan agama?***
https://www.facebook.com/umi.lailasari?fref=ts
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H