Mohon tunggu...
Umi Laila Sari
Umi Laila Sari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Kompakan dengan Suami Hanya Beri ASI

25 Agustus 2016   20:26 Diperbarui: 25 Agustus 2016   20:39 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
caption caption="Pekan ASI

Kalau bertemu dengan seorang ibu yang tidak mau menyusui anaknya, ingin rasanya saya hampiri. Akan saya genggam tangannya erat, lalu saya katakan. “Perempuan kasi ASI ke bayinya itu seksi banget lho!***

Seperti kebanyakan ibu baru, saya juga mengalami kecemasan saat harus menyusui anak pertama. ASI tidak keluar. Beberapa kerabat menyarankan si bayi segera diberi sufor. "Kasian bayinya. Kayaknya masih lapar. Memang kalau bayi laki-laki nyusunya banyak. Kurang kalau hanya dikasi ASI,” ungkap seorang keluarga.

“Saya gak sakit. Bayi saya pun sehat. Cukup ASI. Tidak perlu sufor." Kalimat itu hanya berani saya katakan pada suami. Dan ia pun menganggukkan kepala. Kami sepakat hanya memberi ASI di enam bulan usia bayi. Meski perjuangan ini dalam diam. Apalah kami yang masih anak kemarin sore di hadapan para tetua. Sekotak sufor lengkap dengan dot bayi dengan sukarela dibelikan oleh kerabat.

Ketika bayi saya menangis, keluarga selalu mengatakan ia kelaparan. Bukankah menangis adalah bahasa bayi. Dan akan ada banyak yang ingin disampaikan bayi lewat tangisnya. Tak melulu karena lapar. Justru, mungkin ia tidak nyaman dengan dot susu yang kerap dimasukkan ke mulut kecilnya.

Sementara orang tua pun selalu menanyakan apakah ASI saya lancar. Akhirnya saya meski bohong, "iya banyak kok susunya." Butuh dua hingga tiga hari setelah lahiran, barulah ASI mulai lebih lancar. Saya pandangi dot susu yang masih ada sufor sisa kemarin. Hanya beberapa teguk bayi saya meminumnya ketika ada kerabat. Sesudahnya tidak saya berikan lagi. Bahkan saya sudah berencana untuk mencampurkan sufor ke bolu yang akan saya buat setelah kondisi badan cukup pulih.

Satu tahun lebih usia anak pertama, saya diberi rezeki mengalami kehamilan kedua. Lagi, intimidasi saya alami. Saya berkeyakinan akan tetap memberikan ASI. "Kalau mau tetap kasi ASI makanya jangan hamil dulu," kira-kira begitu komentar kerabat. Saya hanya bisa menarik nafas dalam. Berupaya untuk tidak membalas ucapan apapun karena hanya akan memperkeruh keadaan. Bagaimanapun, anak adalah hak sang Pencipta. Mau diberi atau tidak, manusia hanya bisa ikhtiar. Segala cara dilakukan, bila belum diamanahi anak tetap tidak kuasa. Sebaliknya, kalau sudah dititipi rahim dengan bayi, durhaka kalau mau melenyapkannya.

Sungguh, meski saya tahu kondisi emosi ibu akan sangat berpengaruh pada bayi dan janin. Terkadang saya tidak mampu menahan tangis. Betapapun saya harus kuat. Ada si kakak yang harus lebih saya ayomi karena kualitas ASI berkurang. Juga ada si adik yang wajib saya perhatikan karena asupan makanannya tergantung pada plasenta yang menyatukan kami.

Tidak berjauhan dengan HPL, anak kedua saya lahir. Alhamdulillah kembali dengan persalinan normal dibantu bidan desa. ASI lebih cepat lancar karena awalnya memang masih menyusui. Namun bukan berarti semua baik-baik saja. Di saat ASI melimpah, justru si adik belum terlalu banyak menyusu. Toh lambung bayi juga masih sangat kecil. Payudara sayapun membengkak. Warnanya memerah, terasa keras, perih dan membuat saya sulit bergerak.

Saya masih bertahan dengan mengompres payudara menggunakan air hangat. Berharap setelah beberapa jam, bayi akan menyusu lagi dalam jumlah cukup banyak. Setelah bangun dari tidur, adik pun menyusu. "Minumlah sepuas-puasmu, nak," bisik saya. Hingga si kecil bersendawa, payudara masih keras, terisi penuh ASI. Lagi-lagi panas, perih, nyeri, berat terasa. Sampai hampir larut malam, saya tidak dapat memejamkan mata karena payudara yang kian mengencang. Air mata tak sanggup terbendung menahan sakit.

"Abang ke apotik dulu ya. Cari pompa," pamit suami. Padahal kami tinggal di desa yang berjarak 5 KM dari jalan raya. Harus melalui hutan tak terurus tanpa penerangan lampu jalan. Mencari apotek di jam hampir menuju pergantian hari di daerah kami adalah perjuangan tersendiri. Dalam cemas saya hanya berdo'a agar Allah melindungi suami. Lebih satu jam akhirnya kabar baik datang.

Saya membaca intruksi yang tertera di kotak pompa payudara, sementara suami sibuk menyiapkan semuanya. Mencuci pompa dan dot susu. Memasak air untuk kompres. Juga handuk kecil. Saat kedua anak saya tertidur pulas, kami orang tuanya sibuk memompa ASI. Sesekali saya meringis, tapi langsung disambut suami, "tahan sedikit biar cepat selesai." Saya yang kesakitan jadi sewot, "Abang sich gak ngerasain sakitnya." Dan ia hanya membalas dengan mengelus kepala saya. Dot bayi ukuran 240 ml hampir penuh.

"Cukup?" Tanya suami.
"Lumayan. Sudah lebih enakan. Susunya?"
"Nanti kalau kakak bangun, kasi ke kakak aja." Ide cerdas.
Sampai beberapa minggu saya masih memompa ASI dan memberikannya pada kakak. Tentu saja setelah dirasa payudara hampir bengkak karena swasembada ASI. Kini, usia adik satu tahun tujuh bulan. Masih tersisa lima bulan lagi jatah ASI untuknya. Dan berbagai tantangan akhirnya dapat dilalui.
***

Saya selalu gagal faham dengan ibu yang malas menyusui anaknya. Padahal betapa tak tergantikan ASI dengan nutrisi apapun. ASI terbaik yang dianugerahkan Tuhan bagi kehidupan bayi, ibu, keluarga bahkan negara. ASI adalah investasi jangka panjang membangun peradaban manusia.

Benar ada kondisi kesehatan ibu yang menghalanginya untuk tidak menyusui bayi, tapi itu hanya kasus dengan jumlah yang sedikit. Dan harusnya, perempuan yang bisa melahirkan meski bersyukur dengan memberi ASI pada bayinya. Sebab, ada keajaiban di sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun