Mohon tunggu...
Umi Kudori
Umi Kudori Mohon Tunggu... Ibu Rumah Tangga -

Ibu rumah tangga sederhana yang ingin bersahabat dan saling berbagi dengan masyarakat luas. www.umikudori.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Pasar Rakyat, Riwayatmu Kini

27 Januari 2017   22:36 Diperbarui: 27 Januari 2017   22:54 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasar-pasar rakyat di hampir seluruh pelosok tanah air kini kian terancam punah. Selain akibat kian gencarnya pasar-pasar modern berekspansi hingga ke pedesaan berkat hembusan “angin segar” dari pemerintah, juga karena absennya perhatian para perencana pembangunan terhadap pasar-pasar yang menjadi “nadi” rakyat itu. Salah satu buktinya, isyu tentang pasar rakyat atau pasar tradisional tak pernah disebut sepatah kata pun dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005 – 2025.

Tanda-tanda “kematian” pasar rakyat – yang sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan bernama pasar tradisional – telah lama menyeruak. Hasil riset AC Nielsen tahun 2013 – yang juga dibeberkan di Harian Kompas – menunjukkan, jumlah pasar rakyat di Indonesia merosot rata-rata 8,1 persen, yakni dari 13.550 menjadi hanya 13.450 dalam periode 2007-2009, lalu anjlok lagi menjadi 9.950 pada tahun 2011.

Sementara itu, jumlah pasar swalayan – yang dulu bernama pasar modern – meroket sebesar 38 persen, yaitu dari 11.927 menjadi 16.922 hanya dalam setahun (2009-2010). Dalam kurun waktu ini, pangsa (share) pasar rakyat menyusut dari 80 persen ke 70 persen bersama melonjaknya pangsa pasar swalayan dari 20 persen menjadi 30 persen.

Ekspansi pasar-pasar swalayan secara kasat mata membuat pasar-pasar rakyat di sekitarnya sepi pengunjung. Ini jelas merupakan ancaman serius bagi lebih dari 26 juta pedagang kecil yang menggantungkan nasibnya pada pasar-pasar rakyat di negeri ini.

Namun, persoalan pasar rakyat itu bukan hanya menyangkut masalah ekonomi. Seperti yang telah dibuktikan oleh banyak penelitian sejauh ini, kelangsungan hidup pasar-pasar rakyat terkait erat dengan identitas budaya-budaya lokal serta pelestariannya.

Bahkan belakangan ini para politisi – mulai dari tingkat lokal hingga nasional – semakin getol menjadikan pasar-pasar rakyat sebagai salah satu sasaran penting dari kampanyenya guna merebut hati rakyat. Karena mereka amat yakin, pasar rakyat bukan hanya “nadi ekonomi”, melainkan juga “lubuk emosi” rakyat yang terdalam.

SARANA EKONOMI & BUDAYA

Dari segi ekonomi, resiliensi pasar tradisional memang amat mencengangkan. Paling tidak, ini telah terbukti dalam tiga kali krisis ekonomi terparah yang menghantam Indonesia selama ini, yakni di awal rezim Orde Baru sekitar tahun 1966, di awal era reformasi tahun 1997-1998, dan terakhir pada krisis ekonomi global tahun 2008 di mana hampir semua lembaga bisnis dan ekonomi dunia – termasuk di Benua Amerika dan Eropa – babak belur.

Ajaibnya, dalam semua insiden krisis ekonomi selama ini, pasar tradisional ternyata tetap tegar, bahkan mampu berperan optimal dalam memperkuat resiliensi ekonomi rakyat di tingkat lokal yang berkontribusi amat signifikan terhadap ketahanan ekonomi nasional.

Salah satu fakta mencengangkan tentang pasar rakyat di Indonesia ialah daya cakupnya (coverage) yang sangat akomodatif – bukan hanya terhadap rakyat kecil – melainkan juga terhadap rakyat terkecil baik selaku pedagang maupun pembeli.

Seperti yang antara lain terungkap dari hasil riset tahun 2010 hingga 2011 oleh Bangun Rakyat Sejahtera (BRS), lembaga swadaya masyarakat yang giat membantu kaum perempuan dan gadis-gadis miskin, ternyata masih ada sejumlah pedagang di pasar-pasar rakyat di Pulau Jawa, Sumatra, dan Sulawesi yang pedagangnya hanya bermodal antara Rp 10 ribu hingga Rp 50 ribu, antara lain pedagang sayur (kangkung, daun singkong, dan sebagainya), permen gula merah, kantong plastik, akua gelas, dan lain-lain. Aktivitas bisnis gurem semacam ini mustahil ada di pasar-pasar swalayan di mana pun.

Dalam penelitian itu juga terkuak, 98 persen dari 1.000 orang responden (penduduk yang berpendapatan di bawah Rp 1 juta per bulan) – seperti penarik becak, pengojek sepeda ontel, pemulung, penjual jamu gendong, penjaja kue rumahan, dan sebagainya – membeli kebutuhan sehari-hari mereka di pasar rakyat. Hanya lebih dari satu persen di antara mereka yang kerap berkunjung ke pasar-pasar swalayan, itu pun hanya untuk berjalan-jalan ketimbang berbelanja.

Masih tentang riset tersebut, BRS juga menemukan adanya faktor-faktor kondusif di pasar-pasar rakyat yang berpengaruh signifikan terhadap ketahanan budaya masyarakat lokal yang menjadi pelanggannya dibanding para anggota masyarakat lainnya yang lebih banyak berkunjung ke pasar-pasar swalayan.

Salah satunya adalah budaya saling menyapa dan mengobrol akrab – utamanya antara pedagang dengan pembeli – yang amat banyak dijumpai di pasar-pasar rakyat namun amat langka di pasar-pasar swalayan.

Terkait hal tersebut, peneliti BRS mengamati 100 pengunjung dalam sebuah pasar swalayan di Pulau Jawa. Saat masing-masing dari 100 orang ini turun dari mobil, masuk ke dalam pasar swalayan, berkunjung ke stan-stan, hingga kembali ke mobil dan pulang, yang seluruhnya berlangsung antara satu jam hingga tiga jam, hanya tiga orang yang berbicara, yang 97 orang lainnya tak bersuara sama sekali. Ketiga pengunjung yang berbicara itu ialah: orang pertama mengucapkan “Terima kasih” kepada satpam yang membukakan pintu untuknya, orang kedua bertanya “Mana labelnya?” saat ia menemukan salah satu item barang yang tak dilengkapi label harga, dan orang ketiga menjawab “ATM” saat kasir bertanya apakah ia akan membayar dengan uang tunai ataukah ATM.

Di sini nampak jelas, komunikasi antara pedagang dengan pengunjung di pasar-pasar swalayan merupakan sesuatu yang amat langka. Ribuan pengunjung pasar-pasar swalayan itu hanya berjalan masuk, terkadang mengambil troli, memeriksa barang-barang dan label harganya masing-masing, meletakkan barang-barang yang ingin dibelinya ke atas troli, lalu, jika selesai, ia mendorongnya ke kasir, membayar dengan uang tunai, kartu kredit, ATM, atau kartu-kartu pintar lainnya, dan akhirnya memuat barang-barang belanjaannya itu ke dalam mobil. Semua ini biasanya berlangsung tanpa bicara atau komunikasi verbal antara pengunjung dengan pihak pedagang.

Lain halnya di sebuah pasar rakyat, di kota yang sama, di mana peneliti BRS membuntuti 100 orang pengunjung secara diam-diam, satu per satu. Masing-masing pembeli ini selalu mengajak mengobrol tiap pedagang yang dikunjunginya untuk menanyakan harga dan melakukan tawar-menawar. Sebanyak 58 orang dari pembeli itu bahkan terlibat dalam proses tawar-menawar yang sangat sengit dan emosional dengan para pedagang di pasar itu.

Ini menjadi bukti konkret, komunikasi antara pengunjung dengan pedagang di pasar rakyat sangat intens, bahkan emosional, namun semuanya selalu berada dalam konteks antusiasme yang positif, baik di sisi pengunjung maupun pedagang.

Komunikasi antar-manusia di pasar-pasar rakyat itu, meskipun di atas permukaan terkadang nampak vulgar dan sinis, namun tak pernah membuat siapa pun tersinggung, bahkan itu selalu berakhir dengan derai tawa ria yang membuktikan bahwa semua pelaku komunikasi itu – baik pembeli maupun penjual – sangat menikmatinya. Dan, yang tak kalah pentingnya, semua komunikasi itu dilakukan sesuai dengan nilai-nilai budaya lokal yang diterima dengan baik oleh semua pihak.

Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian itu, BRS menyimpulkan, pasar rakyat di Indonesia bukan hanya berfungsi sebagai fasilitas vital di mana rakyat setempat dapat melakukan interaksi ekonomi melalui proses jual beli berbagai barang dan jasa secara tradisional, namun juga berperan strategis selaku sarana komunikasi di mana rakyat setempat dapat mengekspresikan nilai, sikap, perilaku, serta produk-produk budayanya melalui proses jual beli tersebut.

URGENSI “HARI PASAR RAKYAT NASIONAL”

Dengan demikian, gangguan terhadap eksistensi pasar tradisional di Indonesia bukan hanya menjadi ancaman serius bagi ekonomi 26 juta pedagang kecil serta puluhan juta anggota keluarganya, namun juga bisa membahayakan berbagai nilai budaya rakyat setempat yang integral dengan aktivitas pasar itu.

Sejarah selama ini telah membuktikan, jika ekonomi anjlok akan dapat dibangun kembali melalui upaya-upaya rehabilitasi atau revitalisasi yang bahkan bisa lebih baik dibanding sebelumnya. Namun, jika nilai-nilai budaya punah, mustahil bisa dipulihkan sesempurna aslinya. Di sinilah pentingnya pelestarian budaya dan nilai-nilai budaya, termasuk yang melekat pada sosok pasar-pasar tradisional di tanah air.

Dalam konteks ini sangatlah urgen bagi bangsa ini untuk melestarikan pasar-pasar rakyat di Indonesia. Salah satunya ialah melalui upaya penetapan “Hari Pasar Rakyat Nasional” yang secara rutin akan selalu mengingatkan kita tentang amat strategisnya upaya memperkuat resiliensi ekonomi dan budaya mayoritas rakyat negeri ini lewat pasar-pasar rakyat.

Referensi:

  • Kementerian Perdagangan Republik Indonesia
  • Badan Pusat Statistik
  • www.kompas.com
  • Dokumen Baiti Jannati
  • Dokumen LSM “Bangun Rakyat Sejahtera

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun