Cahaya Terakhir di Penghujung Tahun
Hujan deras mengguyur kota kecil itu sejak pagi. Awan kelabu menggantung rendah, seperti menyimpan duka yang mendalam. Dalam rumah kecil di ujung gang sempit, Aisyah duduk di dekat jendela, memandangi rintik hujan yang jatuh tanpa jeda. Di tangannya tergenggam sebuah foto lusuh---foto dirinya bersama sang ayah yang sedang tersenyum lebar, memegang layang-layang berwarna merah.
Ayah adalah segalanya bagi Aisyah. Ketika ibunya meninggal saat Aisyah berusia tiga tahun, Ayah mengambil peran ganda: menjadi pelindung sekaligus penghangat dalam hidupnya. Dengan segala keterbatasan, Ayah tak pernah mengeluh. Ia bekerja sebagai tukang becak, membawa pulang uang seadanya, namun penuh kasih.
Namun, hidup tidak pernah benar-benar adil. Tahun ini, penyakit kanker lambung merenggut kekuatan Ayah perlahan-lahan. Di penghujung tahun, kondisi Ayah semakin melemah. Uang tabungan yang seharusnya digunakan untuk keperluan Aisyah masuk SMA sudah habis untuk biaya berobat.
"Aisyah," panggil Ayah dari kamar. Suaranya lemah, hampir seperti bisikan.
Aisyah segera berlari masuk. Ia melihat Ayah terbaring di kasur tua dengan tubuh yang semakin kurus. Namun, senyum Ayah tetap sama---hangat dan penuh cinta.
"Iya, Yah? Apa yang Aisyah bisa bantu?" tanyanya sambil duduk di samping kasur.
"Ayah ingin lihat langit malam ini. Kalau hujannya reda, bisa temani Ayah keluar?"
Aisyah menelan ludah. Ia tahu bahwa tubuh Ayah terlalu lemah untuk keluar rumah. Namun, ia tak ingin mengecewakan Ayah.
"Tentu, Yah. Aisyah akan temani Ayah."
Hari beranjak sore, dan hujan perlahan reda. Dengan hati-hati, Aisyah membantu Ayah duduk di kursi roda. Mereka keluar ke halaman kecil di depan rumah. Langit mulai memperlihatkan warna jingga keemasan, menandai akhir hari dan tahun yang segera berganti.
"Ayah ingat tahun lalu," ujar Ayah tiba-tiba. "Kita bikin janji. Aisyah ingin lihat kembang api, kan? Tapi Ayah malah sakit."
Air mata Aisyah menetes perlahan. Ia mencoba tersenyum. "Tidak apa-apa, Yah. Janji itu masih bisa kita tepati nanti."
Ayah menatap Aisyah dengan mata yang mulai basah. "Mungkin Ayah tidak bisa menemanimu lebih lama lagi, Sayang."
"Tidak, Yah. Jangan bicara begitu. Ayah pasti sembuh." Suara Aisyah bergetar.
Namun, Ayah hanya tersenyum. Ia menggenggam tangan Aisyah erat-erat. "Kalau Ayah pergi, kamu harus janji tetap kuat. Terus sekolah, kejar cita-cita kamu. Ayah ingin kamu jadi orang yang berguna, Aisyah."
Aisyah tidak menjawab. Ia hanya memeluk Ayah erat, seolah takut kehilangan.
Saat malam tiba, tetangga-tetangga mulai menyalakan kembang api. Langit yang tadinya gelap kini berwarna-warni, penuh dengan percikan cahaya. Aisyah dan Ayah duduk di sana, menyaksikan keindahan malam terakhir di tahun itu.
"Ayah, lihat! Itu kembang api biru, warna kesukaan Ayah!" seru Aisyah, mencoba menyembunyikan kesedihannya.
Ayah mengangguk pelan. "Indah sekali, Aisyah. Seperti masa depanmu nanti."
Beberapa menit kemudian, Ayah menutup matanya. Bibirnya masih melukiskan senyum yang damai.
"Ayah?" panggil Aisyah, berharap Ayah hanya tertidur.
Namun, Ayah tak menjawab.
Air mata Aisyah mengalir deras, jatuh di atas tangan Ayah yang kini dingin. Tapi ia tahu, Ayah telah pergi dengan tenang, di bawah langit yang dihiasi kembang api, di penghujung tahun yang takkan pernah ia lupakan.
Aisyah menatap langit, lalu berbisik lirih, "Aisyah janji, Yah. Aisyah akan kuat."
Dan di tengah malam yang penuh air mata, Aisyah menemukan kekuatan baru. Kekuatan untuk melanjutkan hidup, membawa semangat Ayah bersamanya. Di penghujung tahun itu, Aisyah belajar bahwa perpisahan bukanlah akhir, melainkan awal dari perjuangan baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H