"Ayah ingat tahun lalu," ujar Ayah tiba-tiba. "Kita bikin janji. Aisyah ingin lihat kembang api, kan? Tapi Ayah malah sakit."
Air mata Aisyah menetes perlahan. Ia mencoba tersenyum. "Tidak apa-apa, Yah. Janji itu masih bisa kita tepati nanti."
Ayah menatap Aisyah dengan mata yang mulai basah. "Mungkin Ayah tidak bisa menemanimu lebih lama lagi, Sayang."
"Tidak, Yah. Jangan bicara begitu. Ayah pasti sembuh." Suara Aisyah bergetar.
Namun, Ayah hanya tersenyum. Ia menggenggam tangan Aisyah erat-erat. "Kalau Ayah pergi, kamu harus janji tetap kuat. Terus sekolah, kejar cita-cita kamu. Ayah ingin kamu jadi orang yang berguna, Aisyah."
Aisyah tidak menjawab. Ia hanya memeluk Ayah erat, seolah takut kehilangan.
Saat malam tiba, tetangga-tetangga mulai menyalakan kembang api. Langit yang tadinya gelap kini berwarna-warni, penuh dengan percikan cahaya. Aisyah dan Ayah duduk di sana, menyaksikan keindahan malam terakhir di tahun itu.
"Ayah, lihat! Itu kembang api biru, warna kesukaan Ayah!" seru Aisyah, mencoba menyembunyikan kesedihannya.
Ayah mengangguk pelan. "Indah sekali, Aisyah. Seperti masa depanmu nanti."
Beberapa menit kemudian, Ayah menutup matanya. Bibirnya masih melukiskan senyum yang damai.
"Ayah?" panggil Aisyah, berharap Ayah hanya tertidur.