Mohon tunggu...
Umi Alfiatul Arfik
Umi Alfiatul Arfik Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa IAIN Kediri

Mahasiswa Ekonomi Syariah semester 3 IAIN Kediri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ambisi di Balik Lembar Esai

24 November 2024   16:58 Diperbarui: 24 November 2024   17:00 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ambisi di Balik Lembar Esai"

Langit malam memeluk kota kecil tempat kampus Dina berada. Di dalam kamar kosnya yang sempit, ia duduk dengan laptop di depannya, dikelilingi buku-buku dan kertas penuh coretan. Wajahnya serius, matanya terpaku pada layar. Pengumuman lomba esai nasional dari kementerian dengan tema "Inovasi untuk Masa Depan Berkelanjutan" terus terngiang di pikirannya. Dina tahu, ini bukan sekadar lomba biasa. Ini adalah kesempatan untuk membuktikan dirinya.

Sebagai mahasiswa semester akhir jurusan Ilmu Lingkungan, Dina selalu berambisi. Ia bercita-cita menjadi seorang inovator di bidang ekologi, dan memenangkan lomba ini bisa menjadi langkah besar menuju impian itu. Hadiah utama berupa uang tunai, sertifikat bergengsi, dan peluang mengikuti konferensi internasional adalah hal yang ia dambakan. Namun, bagi Dina, ada alasan yang lebih dalam.

"Aku ingin orang tua bangga," gumamnya, menatap foto ayah dan ibunya yang terpajang di meja kecil di sebelahnya.

Dina lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang petani kecil, dan ibunya membuka warung di desa. Mereka bekerja keras agar Dina bisa kuliah. Ia tahu perjuangan mereka, dan ia ingin memberikan sesuatu sebagai balasan sesuatu yang membuat mereka percaya bahwa semua pengorbanan itu tidak sia-sia.

Dina memulai dengan membaca tema lomba berulang kali. "Inovasi untuk Masa Depan Berkelanjutan," katanya dalam hati. Tema ini sangat relevan dengan minatnya. Ia memutuskan untuk menulis tentang pengelolaan limbah organik berbasis teknologi lokal, sebuah ide yang terinspirasi dari kehidupan di desanya.

Hari-hari berikutnya dihabiskan di perpustakaan. Dina membaca puluhan jurnal, buku, dan artikel ilmiah untuk memperdalam argumennya. Ia mencatat poin-poin penting, membuat sketsa diagram, dan menyusun kerangka esai. Namun, di balik semangatnya, muncul rasa cemas.

"Bagaimana kalau aku gagal?" pikirnya. Tapi segera ia tepis. "Tidak. Aku bisa melakukannya."

Semakin dekat tenggat waktu pengumpulan, semakin sibuk Dina. Ia menghabiskan malam-malam panjang di depan laptop. Lampu kamar kosnya sering masih menyala hingga dini hari. Farah, sahabat sekaligus teman sekamarnya, sering mengingatkan Dina untuk istirahat.

"Din, kamu nggak takut sakit? Kamu kerja terus," kata Farah suatu malam.
 "Aku nggak punya waktu untuk sakit. Ini penting," jawab Dina sambil tersenyum lelah.

Meski begitu, tubuh Dina mulai merasakan dampaknya. Ia sering sakit kepala karena kurang tidur, dan makan hanya sesekali. Tetapi, semangatnya tak pernah padam.

Setiap kali Dina merasa putus asa, ia akan menatap foto keluarganya. "Ini untuk mereka," bisiknya.

Lima hari sebelum tenggat pengumpulan, masalah besar datang. Laptop Dina tiba-tiba rusak, dan semua file esainya tak bisa diakses. Dina panik, air matanya mulai mengalir.

"Ya Allah, kenapa harus sekarang?" ucapnya dengan suara bergetar.

Ia membawa laptopnya ke tempat servis. Namun, teknisi mengatakan perlu waktu beberapa hari untuk memperbaikinya. Waktu yang Dina tidak miliki.

"Aku harus mulai dari awal," katanya dengan tekad bulat.

Dengan meminjam laptop Farah, Dina menulis ulang esainya. Ia menggunakan catatan-catatan yang ia miliki dan mengandalkan ingatannya. Meski lelah, ia bekerja tanpa henti, hanya berhenti untuk makan dan tidur sebentar.

Tiga hari menjelang tenggat, Dina akhirnya menyelesaikan draf pertamanya. Ia meminta Farah dan seorang dosen pembimbingnya untuk membaca dan memberi masukan. Mereka memuji idenya yang inovatif, tetapi ada beberapa bagian yang perlu diperbaiki.

"Bagian ini terlalu rumit, Din. Pembacanya mungkin kesulitan mengikuti," kata dosennya.
 "Baik, Pak. Saya revisi," jawab Dina, mencatat setiap masukan dengan hati-hati.

Dengan sisa waktu yang ada, Dina terus merevisi esainya. Ia memoles setiap kalimat, memastikan argumennya kuat, dan menambahkan data pendukung yang relevan.

Di malam terakhir, Dina mengunggah esainya ke situs resmi lomba. Saat melihat pemberitahuan "Berhasil Dikirim," ia merasa lega, meski tubuhnya hampir ambruk.

"Aku sudah melakukan yang terbaik," katanya pada dirinya sendiri sebelum tertidur.

Dina menunggu hasil lomba dengan campuran antusiasme dan kecemasan. Ia sering memeriksa situs lomba, berharap pengumuman segera keluar. Ketika akhirnya daftar pemenang dirilis, Dina membuka halaman itu dengan tangan gemetar.

Saat melihat namanya tertera sebagai juara pertama, air matanya jatuh tanpa henti. Ia tidak percaya bahwa usahanya selama ini membuahkan hasil.

"Farah! Aku menang!" teriak Dina, memeluk sahabatnya.

Farah ikut menangis bahagia. "Aku bangga banget sama kamu, Din. Kamu layak dapat ini."

Dina diundang untuk mempresentasikan esainya di sebuah konferensi nasional. Di sana, ia berdiri di hadapan para ahli dan pejabat, berbicara tentang inovasi yang ia usulkan. Penghargaan ini tidak hanya memberinya pengakuan, tetapi juga peluang untuk melanjutkan studinya dengan beasiswa.

Namun, bagi Dina, kemenangan ini lebih dari sekadar prestasi pribadi. Ia merasa bahwa perjuangannya membuktikan satu hal penting: mimpi besar bisa tercapai dengan kerja keras, keberanian, dan ketulusan.

Ketika ia kembali ke desanya, Dina membawa hasil karyanya ke komunitas petani tempat ayahnya bekerja. Ia ingin ide pengelolaan limbah organiknya diterapkan di sana, membantu meningkatkan kesejahteraan mereka.

"Ayah, Ibu, ini semua untuk kalian," kata Dina sambil memeluk orang tuanya dengan erat.

Di bawah langit sore yang indah, Dina menyadari bahwa ambisinya bukan hanya tentang dirinya. Itu adalah tentang memberi kembali kepada orang-orang yang telah menjadi alasan ia bertahan, tentang menjadikan dunia tempat yang lebih baik untuk masa depan yang lebih berkelanjutan.

Dan itulah awal perjalanan baru Dina, seorang mahasiswa berambisi yang tak pernah berhenti bermimpi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun