Setiap kali Dina merasa putus asa, ia akan menatap foto keluarganya. "Ini untuk mereka," bisiknya.
Lima hari sebelum tenggat pengumpulan, masalah besar datang. Laptop Dina tiba-tiba rusak, dan semua file esainya tak bisa diakses. Dina panik, air matanya mulai mengalir.
"Ya Allah, kenapa harus sekarang?" ucapnya dengan suara bergetar.
Ia membawa laptopnya ke tempat servis. Namun, teknisi mengatakan perlu waktu beberapa hari untuk memperbaikinya. Waktu yang Dina tidak miliki.
"Aku harus mulai dari awal," katanya dengan tekad bulat.
Dengan meminjam laptop Farah, Dina menulis ulang esainya. Ia menggunakan catatan-catatan yang ia miliki dan mengandalkan ingatannya. Meski lelah, ia bekerja tanpa henti, hanya berhenti untuk makan dan tidur sebentar.
Tiga hari menjelang tenggat, Dina akhirnya menyelesaikan draf pertamanya. Ia meminta Farah dan seorang dosen pembimbingnya untuk membaca dan memberi masukan. Mereka memuji idenya yang inovatif, tetapi ada beberapa bagian yang perlu diperbaiki.
"Bagian ini terlalu rumit, Din. Pembacanya mungkin kesulitan mengikuti," kata dosennya.
 "Baik, Pak. Saya revisi," jawab Dina, mencatat setiap masukan dengan hati-hati.
Dengan sisa waktu yang ada, Dina terus merevisi esainya. Ia memoles setiap kalimat, memastikan argumennya kuat, dan menambahkan data pendukung yang relevan.
Di malam terakhir, Dina mengunggah esainya ke situs resmi lomba. Saat melihat pemberitahuan "Berhasil Dikirim," ia merasa lega, meski tubuhnya hampir ambruk.
"Aku sudah melakukan yang terbaik," katanya pada dirinya sendiri sebelum tertidur.