Ada adigum di medsos bahwa no pict is hoak.
Maka saya perlu menyertakan gambar yang ala kadarnya saja, sesobek tiket pelni di atas untuk melengkapi tulisan ini.
Saya sebenarnya tidak pandai bercerita, tetapi pengalaman saya mudik waktu itu masih sangat lekat di ingatan. Dan sobekan tiketnya saya simpan sebagai kenang-kenangan.Â
 Bulan Juli th. 2015, bertepatan dengan bulan puasa, masa kerja saya selama 6 bulan di Jayapura berakhir.
Saat itu sudah pertengahan ramadan, dan pekerjaan berikutnya di Manado baru akan dimulai bulan  agustus. Jadi saya punya waktu cukup untuk mudik ke Jatim kan? Pada lebaran sebelumnya saya absen mudik.
Sialnya, harga tiket pesawat pada melambung ke angkasa semua. Begitulah selalu, moment mudik menjadi kesempatan dalam kesempitan para pebisnis untuk meraup untung sebanyak-banyaknya.
Baper deh, bagi kami yang suka paket hemat.
Maka saya bersengaja memilih kapal laut menuju Manado. Sebab sudah janjian dengan teman di sana yang menunggu dan siap tiket Lion untuk bersama-sama terbang ke Surabaya pada H-2 lebaran.
Kalau Pelni harga tiketnya tidak ada kenaikan.meskipun musim mudik lebaran. Hanya saja Armada dan jadwalnya terbatas sehingga kita musti berebut tiket dengan ratusan atau ribuan calon pemudik yang lain.
Saya akhirnya dapat tiket tetapi hanya sampai Sorong. Nanti kalau sudah sampai Sorong katanya bisa nyambung tiket lagi atau membayar lagi buat lanjut ke Manado tanpa perlu turun dari kapal, begitu kata si mas di agen tiket Pelni.
Okelah, saya ambil, yang penting bisa pulang.
Dan bukannya pertama kali itu saya mudik dengan kapal laut,tapi baru kali itulah saya sendirian untuk perjalanan lewat laut yang terjauh dan terlama.Dari Jayapura ke Manado itu butuh waktu selama 3 malam 2 hari.
Kalau jarak dekat sudah sering saya jalani sebelumnya. Dulu waktu kerja di Lampung. Lalu di  Bali th.2007. Terakhir naik kapal laut waktu di Kumai/Sampit Kalteng th.2009.
Di tahun-tahun berikutnya di Manado, alhamdulillah dapat tiket pesawat gratis sebagai THR.
Malam itu saya diantar oleh seorang teman warga lokal ke pelabuhan.Kapal akan berangkat jam 11 malam WIT. Dan sekitar jam 9 kami sudah di Pelabuhan.Â
Astagaa....tiba di pelabuhan Jayapura I situasi sudah seperti lautan manusia. Untungnya bawaan saya cuma satu koper. Saya memang kurang suka terlalu banyak membawa barang kalau bepergian.
Di  luar pagar pelabuhan itu, banyak sekali calo  menawarkan jasa, membantu mendapat  tempat tidur di dalam kapal. Urusan itu teman saya yang nego dengan orang pelabuhan tsb.
Omong punya omong lalu bersepakat.Â
"Mbak ikuti orang ini naik ke kapal ya, kalau sudah dapat tempat, kasih uang 100 rb," kata pengantar saya.
Kemudian dia pulang dan saya berjalan mengikuti orang tsb. Cepat sekali jalannya, menerobos dan menyibak kerumunan orang-orang di depannya.sambil memanggul koper saya.. .
Masuk ke dalam kapal, rupanya di dalam sudah juga penuh manusia dengan banyak pula barang-barang bawaan mereka menumpuk tinggi di lantai, di tangga, semakin sulit kami mencari celah berjalan.
Dengan susah payah akhirnya kami sampai di tempat yang masih kosong.Lalu saya bayar dan mengucapkan terimakasih.
Dan tepat jam 11 malam kapal pun berangkat. Legaa rasanya, walau kepala sedikit pusing, hidung pun menghidu aroma yang beragam plus hawa yang terasa agak panas, juga suara-suara yang seakan berdengung, duh, lama-lama perut terasa mual
Sepertinya saya mulai mabuk laut. Padahal belum pernah saya merasakan seperti itu.
Terpaksa, saya sumpal telinga dengan kapas supaya bisa tidur.Minyak kayu putih saya oleskan dulu merata, ke leher, kening, perut, lalu saya tumpahkan ke sapu tangan untuk membekap hidung.
Rupanya dengan cara itu saya berhasil tidur beberapa jam. Agak lumayan terasanya waktu terbangun, melihat jam di hp, waktu sahur masih tersisa 1 jam. Saya makan sahur dengan bekal yang saya bawa dari rumah kos.
Singkat cerita, besok siangnya sampailah kapal di Pelabuhan Sorong.Cuaca cerah tanpa mendung di angkasa. Sebagian penumpang ada yang turun. Saya heranjak menuju kamar mandi.Tetapi niat mandi saya batalkan, usai hajat tertunai, saya secepatnya keluar. Gak penting saya perpanjang cerita di kamar mandi ya.
Lalu saya berjalan-jalan keluar ke buritan.
Di luar itu banyak penumpang yang tidak dapat tempat, mereka duduk -duduk dan tidur menggelar tikar, banyak juga penjual makanan dan minuman ternyata.
Saya agak heran, para penjual itu orang dari mana? Â dan apakah mereka ikut kapal ini terus sampai kapal balik lagi ke Jayapura nantinya? Entahlah!
Akan bertanya-tanya tapi segan, karena mereka sibuk melayani pembeli. Pastinya memang banyak juga orang yang sedang tidak berpuasa.
Berada di luar kapal, angin bertiup kencang sekali, rambut panjang saya bebas meriap ke sana ke mari. Waktu itu saya belum berjilbab sih.Gak kepikir pula mau pake topi. Malahan topi yang biasa saya pakai kerja di lapangan sudah saya tinggalkan buat teman-teman di Abepura.
Beberapa saat kemudian, saya merasa sudah cukup menghirup udara di luar serta menikmati pemandangan laut, Â saya bermaksud kembali masuk kapal.Â
Namun..
Pintu kapal ditutup.Terkunci dari dalam. Saya bingung, menoleh ke kanan dan ke kiri.Â
"Masih ada petugas tiket, mbak. Nanti juga akan dibuka kalau sudah selesai, tunggu saja dulu," seorang bapak memberitahu saya.
Ooh,saya baru ingat, harusnya kan saya membayar lagi untuk menyambung ke Manado.
Waduh, bagaimana ini?
Aslii..saya merasa takut saat itu, kalau-kalau nanti dianggap  penumpang gelap.
Tapi saya bisa apa? Mau masuk ke kapal gak bisa.
Jadi, dengan perasaan yang tidak karuan, saya berusaha tenang dalam diam..
Sembari menunggu pintu dibuka, saya duduk-duduk di dekat penjual minuman. Menghadap ke lautan lepas.
Nun jauh di sana tampak seakan laut tak berbatas.
Sungguh, betapa luas samudra, ciptaan Tuhan sang Maha Pencipta. Saya eolah hanya merupa setitik debu di bentang alam.
Terlalu lama diterpa angin laut, saya mulai merasa lagi gak enaknya di badan, meskipun saya mengenakan jaket tebal.Â
Syukurlah kemudian pintu dibuka kembali. Gegas saya menuju tempat tidur.
Kepada orang  yang bersebelahan tempat tidur, seorang ibu dari Sentani, saya ceritakan tentang tiket saya yang hanya sampai Sorong dan belum membayar lagi buat terus ke Manado.
Diluar dugaan, tanggapannya membuat saya terpana.
Begini katanya, "Itu rezeki namanya, mbak!" sambil tersenyum.
"Loh, kok?"saya belum mengerti maksudnya.
"Tenang saja, mbak, tetap duduk dan tidur di sini. Nanti kalau ada pemeriksaan ya bayar lagi," sambungnya.
Ya sudah, dalam hati ku berharap semoga benar begitu.
Lalu katanya lagi,"Tapi kayaknya sih gak bakalan ada, makanya saya bilang tadi, itu rejeki, mbak, gratis dari Sorong ke Manado gituuu.."Â
Ya ampuun..apa benar begitu?
Tunggu punya tunggu, sampai hari besoknya dan hari besoknya lagi sampai kapal tiba di Pelabuhan Bitung-Manado, ternyata benar.
Tidak ada pemeriksaan tiket lagi. Artinya saya dapat gratisan dari Sorong hingga Manado, lah, sayanya siap membayar tetapi tidak ada yang minta dibayar.
Selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H