[caption caption="Sumber foto shutterstok "][/caption]Dan sejak saat itu, Julinar tak pernah bersedia menerima telpon dari Pram. SMS pun jarang dibalasnya.Bahkan Julinar menolak kiriman untuk biaya sekolah Hikmawan. Dengan alasan dirinya masih mampu menanggungnya. Dan mengatakan."Suatu saat bila aku tak mampu lagi, Pram. Aku akan memintanya darimu."
Tahun - tahun berjalan. Komunikasi terputus oleh kesibukan masing -masing. Namun Pram tak pernah berhenti memikirkan Juniar. Harapannya untuk bersatu kembali suatu saat, tetap digenggamnya. Cintanya seincipun tak bergeser.Â
Secara kebetulan dua tahun yang lalu, Pram menemukan nama Julinar di Facebook. Tersambung kembali benang yang sempat  terputus.Dari sana aktivitas Julinar di medsos terpantau.Tanpa keinginan mengusiknya. Berpegang pada janji Julinar bahwa pada saatnya Ia akan datang, bertemu menuntaskan masalah mereka.Â
Tibalah saat yang Pram nantikan.Julinar sudah datang di kotanya.
Keriangan Pram dengan tanpa sadar berjingkrak - jingkrak hari itu, setelah Julinar menelpon. Membuat Nirma keheranan. Ia memberanikan diri mendekati suaminya dan bertanya. "Ada apa, telpon dari siapa, Bang? " Â
Tanpa rasa bersalah, Pras mengatakan. " Julinar sedang ada di kota ini dan memintaku menemuinya, " riang sekali suara Pras yang tertangkap oleh pendengaran  Nirma. Membuat jantungnya berdetak lebih  cepat.Â
Nama itu sering disebut dalam perbincangan mereka oleh Pram. Nirma sangat memahami dan bisa menerima kenyataan bahwa Pram tak pernah berhenti menyintai Julinar. Tetapi Pram adalah pria yang baik. Bertanggung jawab kepada keluarganya, cukuplah itu bagi Nirma.Â
 ***
Sekarang Julinar sudah di depan mata. Kerinduan Pras begitu meluap, sekian lama terpendam. Sempat terbersit tanya di benaknya. Adakah pria lain dalam hidup Julinar kini? Tapi ia tepis sendiri kecurigaan itu. Ia tahu Julinar bukan perempuan yang mudah jatuh cinta.Â
"Jadi dalam rangka apa kau melesat jauh ke kota ini tiba-tiba. Membuat kejutan,"
" Menurutmu kira-kira apa? " Julinar balik bertanya. Terdorong rasa ingin tahu. Masihkah Pram mengharapkannya kembali.Â
"Aku tak berani berandai-andai. Katakan saja apapun itu. Aku siap mendengarnya. Hal terburuk sekalipun,"Pras menyandarkan punggungnya. Menyalakan sebatang rokoknya dan dihisap  dalam. Mengembuskan asapnya membentuk bulatan.Â
"Aku mau ke Bali, Pram, meriset untuk setting novelku.Kebetulan juga, besok menghadiri undangan temanku yang membuka galeri seni di Ubud. Tapi yang terpenting bagiku adalah bertemu denganmu dulu. Sesuai janjiku, "Â
Julinar mengatur nafas sejenak. Membasahi tenggorokannya dengan minuman dingin yang dipesannya. Sampai ketegangan perasaannya pelan menurun.Â
Pram masih diam. Menunggu dengan perasaan yang kalah tegangnya. Menduga-duga kelanjutan bicara Julinar. Firasatnya menangkap gelagat yang kurang menggembirakan.Â
"Pram, jangan membebani pikiranmu dengan rasa bersalah. Aku sudah memaafkanmu. Sungguh kupahami dan kumengerti posisimu kala itu. Jadi, kumohon. Lepaskan aku, Pram, " tajam tatapan Julinar menghujam hingga menusuk ulu hati Pram.Â
Julinar menatap Pram dengan ketegasan yang tak mudah diruntuhkan. Ketegasan yang menyedot sebagian besar kekuatan dalam dirinya.Â
Sesaat mata lelaki itu menyala gugup melihat Julinar. Dalam hatinya, ia menyesali keputusannya menikahi Nirma. Tapi bagaimana mungkin ia  sanggup menentang ibunya. Bagaimana ia akan tega mengabaikan Nirma? Perempuan yang sudah yatim piatu sedari kecil. Sebatang kara.Kehilangan kedua orang tuanya ketika tsunami melanda.Â
Nirma perempuan yang cerdas dan sederhana.Setelah melalui hari-hari pernikahan, Nirma membuktikan diri sebagai istri dan menantu yang baik serta solihah.Â
"Baiklah, Din. Akupun sepenuhnya mengerti.Tak selayaknya aku menurutkan egoku.Dan karena aku menyintaimu. Yang kuinginkan hanya kebahagiannmu.," bergetar suara Pras, mencoba menguatkan hatinya. Bukan hal yang mudah untuk melupakan Julinar. Sekian lama terpisah pun cintanya tetap utuh.Â
Pun bagi Julinar.Bukan persoalan gampang untuk menghapus begitu saja, Pram dari hatinya. Tetapi empatinya kepada Nirma lebih mendalam. Tak hendak Julinar menaburkan luka.Â
"Trimakasih, aku sangat menghargainya,Pram, " dihelanya nafas perlahan, meluapkan kelegaan hatinya. Seakan hal  berat yang membebani pikirannya telah terlepas bebas.Â
Lalu, Julinar mengeluarkan sebuah bingkisan dari tasnya. Diulurkannya kepada Pram.Â
"Aku menitip hadiah kecil ini untuk Julia, Pram. Jika aku tak bisa memenuhi undangan Nirma. Tolong sampaikan permintaan maafku."
Jika nanti sampai di rumah. Pram membuka kado itu. Julinar berharap Pram benar-benar sudah keluar dari hidupnya.Â
Liontin itu dulu adalah hadiah pernikahan mereka. Dan kini Julinar telah mengembalikannya.Â
Selesai.Â
September 12 092016Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H