"Aku tak berani berandai-andai. Katakan saja apapun itu. Aku siap mendengarnya. Hal terburuk sekalipun,"Pras menyandarkan punggungnya. Menyalakan sebatang rokoknya dan dihisap  dalam. Mengembuskan asapnya membentuk bulatan.Â
"Aku mau ke Bali, Pram, meriset untuk setting novelku.Kebetulan juga, besok menghadiri undangan temanku yang membuka galeri seni di Ubud. Tapi yang terpenting bagiku adalah bertemu denganmu dulu. Sesuai janjiku, "Â
Julinar mengatur nafas sejenak. Membasahi tenggorokannya dengan minuman dingin yang dipesannya. Sampai ketegangan perasaannya pelan menurun.Â
Pram masih diam. Menunggu dengan perasaan yang kalah tegangnya. Menduga-duga kelanjutan bicara Julinar. Firasatnya menangkap gelagat yang kurang menggembirakan.Â
"Pram, jangan membebani pikiranmu dengan rasa bersalah. Aku sudah memaafkanmu. Sungguh kupahami dan kumengerti posisimu kala itu. Jadi, kumohon. Lepaskan aku, Pram, " tajam tatapan Julinar menghujam hingga menusuk ulu hati Pram.Â
Julinar menatap Pram dengan ketegasan yang tak mudah diruntuhkan. Ketegasan yang menyedot sebagian besar kekuatan dalam dirinya.Â
Sesaat mata lelaki itu menyala gugup melihat Julinar. Dalam hatinya, ia menyesali keputusannya menikahi Nirma. Tapi bagaimana mungkin ia  sanggup menentang ibunya. Bagaimana ia akan tega mengabaikan Nirma? Perempuan yang sudah yatim piatu sedari kecil. Sebatang kara.Kehilangan kedua orang tuanya ketika tsunami melanda.Â
Nirma perempuan yang cerdas dan sederhana.Setelah melalui hari-hari pernikahan, Nirma membuktikan diri sebagai istri dan menantu yang baik serta solihah.Â
"Baiklah, Din. Akupun sepenuhnya mengerti.Tak selayaknya aku menurutkan egoku.Dan karena aku menyintaimu. Yang kuinginkan hanya kebahagiannmu.," bergetar suara Pras, mencoba menguatkan hatinya. Bukan hal yang mudah untuk melupakan Julinar. Sekian lama terpisah pun cintanya tetap utuh.Â
Pun bagi Julinar.Bukan persoalan gampang untuk menghapus begitu saja, Pram dari hatinya. Tetapi empatinya kepada Nirma lebih mendalam. Tak hendak Julinar menaburkan luka.Â
"Trimakasih, aku sangat menghargainya,Pram, " dihelanya nafas perlahan, meluapkan kelegaan hatinya. Seakan hal  berat yang membebani pikirannya telah terlepas bebas.Â