Mohon tunggu...
Umi Setyowati
Umi Setyowati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ibu rumah tangga

Wiraswasta yang suka membaca dan menulis fiksi sesekali saja.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

"Asa yang Tersisa" (26)

22 April 2016   21:33 Diperbarui: 22 April 2016   22:24 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

[caption caption="wibsite Pemkab Bnyuwaangi"][/caption]

#tantangan100harimenulisnovelFC 

No. 84. Umi Setyowati. 

Bab. VI 

26 /

Dengan berakhirnya ritual larung sesaji, bukan berarti keramaian di Muncar tlah berakhir. 

Kami betempat,susah payah, berdesakan dengan ratusan orang yang memadati pantai, menyibak diantara mereka menuju jalan raya. 

Jalanan tampak macet, pengendara motor berjalan merayap di tengah jalan. Di kanan kiri, pejalan kaki pun demikian, mungkin kalau dilihat dari atas seperti semut, merayap menuju satu titik. 

Mendekati halaman TPI, terdengar suara kendang yang keras , gamelan dan angklung, alat musik dari bambu mengiringi tarian "Gandrung "inilah acara hiburannya. Setelah ritual larung sesaji usai. 

"Lak Syaf, kita nonton gandrung dulu, sambil istirahat minum, duuuh. . . panas sekali " kugandheng tangan Wulan meneduh di bawah tenda, yang tadi di pakai upacara. 

Di atas pentas beberapa penari gandrung berlenggak- lenggok dengan gemulainya  mengikuti irama kendang. Penonton riuh sekali di depan pentas dan di sekeliling tenda. 

"Kamu belum pernah menonton tari gandrung, kan Wul? " kulihat Wulan tak berkedip menikmati indahnya tarian yang penarinya tampak sangat cantik dan masih belia seumur kami. 

"Belum, mbak Yow , aku suka sekali melihat tari - tarian itu, tapi kalau mau belajar menari, hihihi. . . kaku mungkin ya gerakanku? " Wulan bicaranya sambil agak mendekat, mungkin malu kalau di dengar oleh Lekku. 

" Awalnya mungkin Wul, tapi kalau rutin dan rajin latihan terus, ya lama kelamaan lemas juga kan? " 

"Hi hi hi, iya ya mbak. ehm. . .tari gandrung ini tarian khas  Banyuwangi ya mbak?, selain pas petik laut, acara apa yang hiburannya tari gandrung?"

" Iya, makanya Banyuwangi sering juga disebut kota gandrung, ibuku pernah bercerita begitu" sejenak aku berhenti untuk minum, sebelum kulanjutkan. 

"Tari gandrung juga sering dianggap orang yang sedang hajatan Wul,  perkawinan, khitanan, juga acara resmi di Pemkab, kalau agustusan juga "

" Ooh begitu ya, waah. . rame dong penontonnya, mba Yow! " semakin antusias Wulan, masih sambil menyaksikan pertunjukan di atas pentas.

"Ya iyalah, banget rame Wul, bisa jadi orang satu desa menonton, kalau ada orang hajatan nanggap gandrung, orang jualan juga rame, tapi mulainya malam jam 9.Wul, dan sampai subuh pagi baru bubar " tukasku. 

"Haah? sampai pagi, mbak? " keheranan Wulan, 

"Iya, sampai pagi, kata ibuku, jadi penari gandrung itu harus kuat fisiknya, ritualnya sebelum main tanggapan itu, juga ada puasanya, ya guru tarinya itulah yang membimbing " sebisaku ku copas apa yang pernah diceritakan oleh ibuku. 

"Tapi kalau pas tanggapan itu penari gandrungnya dapat saweran , Wul! " Lekku menbahi ceritaku. 

"Maksudnya, saweran itu bagaimana Om? " Wulan semakin ingin tahu, beralih bertanya ke Lekku. 

" Misalnya begini, salah satu penonton pria naik ke atas pentas, menari bersama gandrung itu, trus kalau sudah habis satu lagu, dia memberikan uang. hehehe...kadang uang itu diselipkan di balik dada penari itu " kata Lekku menjelaskan. 

"Ooh begitu ya" berhenti sejenak, lalu Wulan melanjutkan. "Banyu itu air dan wangi itu harum, kenapa nama kota ini artinya air harum, Om ?"

"Waaah. . kalau itu panjang ceritanya, nanti di rumah saja ya, tuh. . . lihat, gandrungnya sudah turun, kita pulang ya. ..ayo Yow " dikawal Lekku, kami berempat beringsut keluar dari area hiburan untuk mencari angkot pulang.Hari tlah mendekati senja, kala itu. 

Bersambung. 

 

sumber gambar : Website Pemkat Banyuwangi

Manado 23  April 2016. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun