Mohon tunggu...
Umi Setyowati
Umi Setyowati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ibu rumah tangga

Wiraswasta yang suka membaca dan menulis fiksi sesekali saja.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

"Asa yang Tersisa" (10)

24 Maret 2016   21:13 Diperbarui: 24 Maret 2016   21:28 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

#tantagan100harimenulisnovelFC 

No.84. Umi Setyowati. 

Bab.I I 

10 /

Selamat tinggal Surabaya, sampai jumpa lagi. 

Satu minggu menjelang tahun ajaran baru, aku harus pulang. Begitu pesan ibuku sebelum berangkat. Kini waktu liburan habis masanya.Rutinitas sekolah dan belajar , akan dimulai lagi. 

Sedikit banyak aku sudah mulai memahami di mana posisiku. Bagaimana aku harus menyikapi keadaan ini. Berada di tengah - tengah dua keluarga. Keluarga bapak dengan ibu tiri, dan keluarga ibu dengan bapak tiri. Sebagai anak tertua dengan lima orang adik yang masih kecil - kecil.

Untung saja ibuku belum mengijinkan aku sekolah di Surabaya, yang berarti harus tinggal dengan bapak.Perasanku mengatakan bahwa sikap dan kebaikan ibu Mus hanya basa basi, tidak tulus di hati. 

Entah apa sebabnya ya. . . ,aku pulang dari menginap di rumah bu Dhe, ibu kelihatan kurang senang.Dengan mbak Ipung juga acuh tak acuh. Padahal pak Dhe itu kan saudara tertua bapak. Ah. . . bikin bingung saja sikap orang-orang tua itu. 

**** 

Terminal Joyoboyo. 

Berangkat dari Banyuwangi ke Surabaya naik KA, pulangnya aku minta naik bis saja. 

Pagi sekali aku dan Pak Lek Sum sudah tiba di teminal Joyoboyo. Terminal yang besar sekali menurutku. Di sebelah timur dipenuhi oleh bemo roda tiga, angkutan dalam kota, seperti yang kami tumpangi tadi, dari kapas krampung ke Wonokromo. Berpuluh-puluh bemo nge tem sesuai jurusan, setiap jurusan ditandai dengan letter, tertera di kaca depan dan belakang.Yang kami naiki tadi letter V. 

Di sebelah barat dipenuhi berpuluh -puluh bus jurusan luar kota. Antriannya panjang sekali, tapi setiap lima menit, ada yang diberangkatkan, keluar dari terminal. Termasuk salah satu yang kami naiki. 

Perlahan-lahan bus Surabaya Indah keluar dari terminal. Penumpangnya penuh,  bahkan ada yang berdiri sambil berpegangan ke atas. Aku dan Pak Lek duduk di bangku deretan sebelah kanan paling depan. Pandangan ke depan dan kanan kiri jalan nampak jelas kelihatan. 

Di jalan masih saja pak sopir berhenti menaikkan penumpang, padahal sudah tak ada lagi tempat duduk. Orang itu kok ya mau saja berdiri. Tapi ada juga yang urung naik, begitu melihat banyak yang berdiri. Ibu- ibu yang membawa anak kecil. 

Sekitar dua jam, sepertinya sudah di luar kota. Pak kondektur menarik karcis. Kubaca nama-nama kota yang akan kami lewati nanti. Wuiiih. . . banyak sekali, pikirku pasti lama ini nyampe rumah. 

"Pak Lek, di mana saja nanti bus ini berhenti?" tanyaku, kuperlihatkan karcisnya. 

"Coba lihat " Pak Lek mengambil karcisnya dan dibaca. 

"Ini Yow, habis ini nyampe Pasuruan, Probolinggo, Jember trus sebelum terminal Banyuwangi kita turunnya " sambung pak Lek Sum. 

"Berarti kita ini lewat jalur selatan ya. . !"

"Iya memang, kalau lewat jalur utara terlalu jauh, .rumahmu itu kan di Banyuwangi selatan, coba pahami! "

" Iya iya, aku paham sekarang, kalau lewat jalur utara, dari terminal kita masih harus naik mobil lagi menuju rumah, sedangkan kalau lewat jalur selatan ini, nanti kita langsung turun di pasar trus naik becak ke rumah "

"Nah, pinter kamu Yow, kira - kira berani nggak, kalau liburan lagi kamu ke Surabaya sendiri, hehehe. . hayooo "Pak Lek Sum senyum senyum menggodaku.

" Emmm. . . belum berani ah, lagian belum tentu diijinkan sama ibuk, Pak Lek harus jemput aku lagi, nanti kalau liburan kenaikan kelas "

"Iya iya, aku cuma becanda kok, mana tega nyuruh kamu sendirian,jauh lho Banyuwangi -Surabaya itu, hampir tujuh jam perjalanan" jelasnya. 

Beberapa saat kami saling terdiam. Ketika bus memasuki terminal Probolinggo. Penumpang ada yang turun dan ada yang naik. Aku hanya turun ke kamar kecil. Setelahnya, bus melanjutkan perjalanan. Kantukku mulai terasa. Kulihat pak Lek juga bersandar memejamkan matanya. 

Sinar matahari serasa menyengat dari arah barat, meski korden sudah kugeser menutupi kaca. Satu dua orang merokok, pak sopir juga, menambah hawa panas dalam bus. Aku jadi kegerahan sulit tertidur. 

Bersambung. 

Manado 24 Maret 2016. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun