Mohon tunggu...
Umi Fitria
Umi Fitria Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary Me

Seorang Ibu, wanita, teman, partner yang selalu ingin membuka hati dan pikiran untuk belajar tentang hidup. visit my blog on https://www.simpelmommy.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Sering Dianggap Sama, Ini Bedanya antara Makan dan Kuliner

8 Agustus 2022   10:33 Diperbarui: 13 Agustus 2022   01:54 2043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Makan adalah salah satu dari tiga pilar kebutuhan dasar manusia yang wajib untuk dipenuhi. Bisa dibayangkan bila poin ini gagal dipenuhi, ya otomatis akan berujung pada kematian sehingga membatalkan esensi dari kehidupan manusia itu sendiri. 

Sejak zaman dahulu manusia hidup untuk menjaga dan mempertahankan eksistensi mereka di bumi ini dengan cara berburu dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. 

Seiring dengan semakin majunya tingkat kecerdasan dan peradaban manusia, kita kemudian mengenal sistem agraris atau pertanian sehingga pilihan untuk makan sudah tidak hanya dengan berburu dan memakan daging saja, namun juga mulai memakan produk-produk hasil dari alam atau nabati, seperti biji-bijian, sayuran dan juga buah -buahan.

Zaman berganti, era primitif telah berlalu dan sekarang manusia modern sudah lebih variatif lagi dalam urusan makan ini. Semenjak mengenal bumbu dan teknik memasak, makanan sekarang ini juga sudah bertransformasi dengan berbagai bentuk, jenis dan benar-benar kaya akan cita rasa. 

Mungkin dahulu manusia tidak pernah terpikir ya bahwa aktivitas makan yang memang tujuannya untuk mengatasi rasa lapar demi bertahan hidup, yang notabene sesederhana itu bisa menjadi ragam kuliner yang tidak ada habisnya dan terus berkembang dari masa ke masa.

Perbedaan arti kata makan dan kuliner

Istilah kuliner ini menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti sesuatu hal yang berhubungan dengan masak memasak, namun sebenarnya kuliner ini adalah kata serapan dari root bahasa inggris yang artinya adalah masakan. 

Seiring dengan lajunya asimilasi dalam masyarakat kita dalam penggunaan bahasa, kuliner yang tadinya adalah kata benda sekarang juga bisa menjadi kata kerja. 

Mungkin kiat sering mendengar istilah atau ajakan "kulineran yuk !", nah itu salah satu contoh kita menggunakan kata kuliner sebagai kata kerja yang pada dasarnya mengacu atau menyamakan dengan kata "makan" yang memang notabenenya adalah kata kerja.

Namun, dengan normalisasi kata serapan ini, apakah bisa dibenarkan? 

Well, kalau bicara benar salah ya seharusnya memang kuliner ini sesuai dengan arti kata asalnya ya, yakni masakan, sehingga penyebutan yang benar harusnya "yuk kita makan kuliner Indonesia" atau "yuk kita coba kuliner jepang" yang memang mengacu kepada ragam atau jenis masakan, bukan aktivitas makannya. 

Namun yah sekali lagi masyarakat kita kan memang masyarakat yang sangat mudah memaklumi ya, jadi benar salah ya bukan menjadi hal yang harus diskeptisi, hehe.

Pergeseran makna antara makan dan kuliner

Bila pada bahasan di atas kita membahas perbedaan dari sudut pandang arti kata dan bahasa, sekarang kita akan melihat bagaimana pengaruh kata dan makna ini juga turut mempengaruhi pola perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari.

Mungkin pada zaman dahulu saat kita merasakan lapar pasti kita akan berusaha untuk problem solving kondisi lapar ini dengan cara makan dan yah seadanya asal ada nasi, lauk dan sayur, sesederhana itu. 

Namun, di zaman modern ini, saat kita merasakan lapar, maka solusinya bukan hanya bagaimana cara mengatai rasa lapar dengan makan saja, namun sudah berkembang menjadi bagaimana mengatasi rasa lapar dengan cara makan dan pilihan kuliner atau masakan apa yang bisa dimakan?

Jadi untuk makan saja kita sekarang dihadapkan dengan beragam pilihan yang seolah tidak ada habisnya, maka dari itulah muncul istilah "wisata kuliner", "pekan kuliner", "culinary experience" dan berbagai macam kemasan aktivitas makan yang tadinya sangatlah sederhana dan mendasar, dikemas menjadi sesuatu yang branding, keren atau up to date dan menjual, yakni menjual taste atau cita rasa.

Aktivitas makan rasanya sudah tidak lagi hanya menjadi kebutuhan dasar namun juga sudah upgrade dan bisa bertransformasi menjadi kebutuhan sekunder bahkan tersier tergantung situasi dan kondisi. 

Jadi bila kita ingin makan, kita bisa menjadikan aktivitas makan kita ini sebagai aktivitas primer, sekunder maupun tersier. Sebagai contoh saat kita lapar, bila mindset kita menganggap makan ini adalah primer atau dasar dan hanya untuk mengatasi supaya tidak lapar maka kita akan makan apa saja asal terpenuhi standar atau komposisi gizinya seperti karbohidrat, protein, serat (nasi, lauk sayur) itu pun sudah cukup. 

Namun, saat mindset kita menganggap makan ini tidak hanya kebutuhan primer namun juga menambahkan atribut sekunder atau tersier, maka saat lapar selain ingin makan kita juga ingin makanan yang enak, di tempat yang bagus, fancy dan syukur-syukur instagramable sehingga dasar dan tujuan makannya sendiri menjadi bias dengan atribut-atribut tadi. Bisa kita lihat di zaman sekarang ini dan hal itu dianggap lumrah-lumrah saja.

Well, semua kembali ke pribadi masing-masing ya mau pilih yang mana, asalkan kita tidak kehilangan kejernihan pikiran dan tidak salah kaprah dalam memahami konteks, sehingag tidak tumpang tindih dalam memposisikan mana yang primer, sekunder dan tersier dalam hal apapun sebenarnya tidak hanya soal makan. 

Dengan begitu, harapannya kita bisa menempatkan segala sesuatu sesuai porsi dan kondisinya, bukan malah kita yang dikendalikan oleh ketidak tahuan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun