Mohon tunggu...
Umi Anisah
Umi Anisah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Anisa nisa

setiap hal yang dikerjakan harus diselesiakan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengingat Kembali Sejarah Singkat Konflik Ambon: Latar Belakang, Akar Permasalahan dan Penyelesaian

15 Desember 2021   11:00 Diperbarui: 15 Desember 2021   12:49 30889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjalanan Konflik Ambon dan Akar Permasalahannya

Sejarah Konflik Ambon

Konflik yang terjadi di Maluku sering dibilang sebagai konflik antara umat Islam dan Kristen, walaupun kenyataannya latar belakang konflik ini lebih kompleks. Pada zaman penjajahan Belanda dulu, masyarakat Maluku dibagi sesuai dengan garis agama secara geografis dan sosial. Massa penjajahan Belanda, Belanda memberikan orang Kristen akses yang lebih besar dalam bentuk Pendidikan dan posisi politik, sementara orang Muslim lebih diberi akses untuk berdagang dan berbisnis. Pada masa pemerintahan Soeharto, Maluku mengalami banyak perubahan sosial, dengan adanya praktek- praktek tradisional yang menjadi salah satu peredam ketegangan antara umat Muslim dan Kristen, namun sayangnya hal ini hanya Nampak dari lapisan luarnya saja.

Adanya kebijakan transmigrasi dari pemerintah pada tahun 1950 dari Bugis, Buton dan Makassar ke Maluku, membuat pertumbuhan Muslim di Maluku semakin bertambah. ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) didirikan Soeharto yang bertujuan untuk mengamankan dukungan politik dari kelompok Muslim Ketika kekuasaan militernya memudar. Adanya pengangkatan M. Akib Latuconsina pada tahun 1992 yang dulunya merupakan direktur ICMI di Maluku diangkat menjadi Gubernur Maluku menyebabkan semua bupati di provinsi Maluku beragama Islam, hal ini membuat kesal umaat Kristen yang bertempat tinggal di sana (Debora, 2011).

Konflik kekerasan yang terjadi di Maluku Sebagian besar lebih berpusat di Ambon. Pada tahun 1999 sampai 2002 konflik kekerasan di Ambon menewaskan hampir dari 5.000 nyawa, konflik ini merupakan konflik yang paling dahsyat di Indonesia setelah keruntuhan rezim pemerintahan Soeharto. Pada tahun 1998, terjadi lagi kerusuhan, kali ini bukan di Ambon, tetapi di Ketapang, Jakarta Utara dengan pelaku konflik antara preman Ambon yang beragama Muslim dan Kristen. Setelah adanya kerusuhan tersebut, TNI AL Indonesia mengirim hampir 200 preman Ambon untuk Kembali ke Maluku, menurut para saksi terjadinya konflik pertama kali di Ambon dipicu oleh adanya provokasi dari preman- preman ini.

Akar Permasalahan Konflik

Awal mula terjadinya konflik di Maluku yakni adanya target kekerasan untuk para pendantang Muslim dari Bugis, Buton dan Makassar. Setelah adanya perpindahan penduduk besar- besaran, konflik mulai menyebar ke wilayah luar dari Maluku. Pecahnya konflik ini diperparah dengan adanya rumor seputar symbol keagamaan, seperti terjadinya serangan pada masjid ataupun gereja. Konflik di Maluku ini sempat mereda karena adanya PEMILU pada Mei 1999. Hingga akhirnya pada Juli 1999 pemilihan di Ambon dimenangkan oleh partai PDIP, pengumuman kemenangan ini berakhir dengan kekerasan dikarenakan kemenangan PDIP seperti halnya kemenangan umat Kristen. Hal ini membuat masing- masing dari umat beragama yang ada di Maluku untuk memberikan pertahanan diri dan melakukan kekerasan kepada siapapun dari agama yang berbeda (Debora, 2011).

Puncak konflik ini yaitu adanya pembantaian Tobelo dan serangan terhadap Gereja Silo yang berada di tengah pusat Kota Ambon pada tanggal 26 Desember 1999. Gereja ini merupakan salah satu Gereja Protestan Maluku yang terbesar dan terbakar habis pada hari selesai perayaan Natal. Sementara itu, pada hari yang sama umat Muslim di Masjid desa Tobelo terburnuh hampir 800 orang oleh umat Kristen. Adanya serangan ini membuat antara kedua umat tersebut terlibat lebih jauh dalam konflik kekerasan, sampai- sampai para apparatpun tidak dapat menanganinya.

Dilansir dari (bbc.co) bahwasannya setelah sekian lama ketenangan terjadi di Maluku. Pada bulan September 2011 Ambon Kembali mengalami kerusuhan yang disebabkan oleh kematian tukang ojek beragama Muslim yang Bernama Saiman di Kawasan komunitas Kristen, dalam hal ini masyarakat sangat mudah sekali untuk diprovokasi, hanya sebatas pesan masuk yang menyebar, pesan tersebut berisi bahwa Saiman telah mati dibunuh oleh orang Kristen. Menurut Guru besar sosiologi FISIP Universitas pattimura, Tony Pariela mengatakan bahwa konflik Ambon yang terjadi baru- baru ini menandakan bahwa penyelesaian konflik agama pada 1999 belum terselesaikan hingga tuntas.

Upaya Penyelesaian Konflik Ambon

Sampai pada akhirnya masyarakat Maluku menyadari bahwa mereka sudah Lelah bertempur, dalam hal ini berbagai upaya untuk mengakhiri konflik pun segera dilakukan, beberapa orang yang terlibat dalam upaya perdamaian yakni dari petugas keamanan, pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Dua pendekatan upaya dalam penyelesaian konflik di Maluku yakni yang pertama dalam bentuk pendekatan keamanan dan darurat, yang kedua yakni dalam bentuk pendekatan pemulihan dan pembangunan. Namun sayangnya dalam hal ini tidak ada strategi serta perencanaan jangka panjang baik dari pemerintah maupun dari masyarakt sipil, pendekatan penyelesaian konflik yang pertama yakni mengandalkan pihak militer yang didatangkan dari luar daerah Maluku. Sementara itu pemerintah pusat memulai perundingan damai antara kelompok Muslim dan Kristen pada Februari 2002.

Sebelum pemerintah mengadakan perundingan damai pada Februari 2002, ada beberapa upaya perdamaian dari pemerintah yang tidak berhasil. Salah satunya yakni Gubernur Maluku membentuk satuan “Tim 6” yang terdiri dari masing- masing pemimpin agama, tugas mereka yakni menghentikan adanya kekerasan yang terjadi di Ambon dan mencegah terjadinya penghancuran symbol- symbol keagamaan seperti gereja dan masjid, juga mencegah terjadinya penghancuran rumah- rumah warga. Mereka dibentuk untuk berkomitmen dalam upaya perdamaian, tetapi sayangnya dalam hal ini justru sebaliknya, mereka diduga terlibat dalam kekerasan. Adanya bentukan “Tim 6” tadi tidak berpengaruh dalam upaya perdamaian. Alhasil perdamaian yang ditempuh dengan cara seperti ini pun gagal.

Sementara itu, bantuan yang diberikan pemerintah juga bermasalah. Tidak adanya dukungan dari militer dalam mendistribusikan bantuan, akhirnya persediaan makanan dan kebutuhan lainnya pun tidak dapat dibagikan. Di sisi lain, militer dalam hal ini tidak mendapatkan dukungan logistic yang cukup. Adanya pemisahan antara kelompok Kristen dan Muslim juga menjadi tantangan untuk pendistribusian bantuan. Dengan adanya hal ini, membuat pemerintah lebih terdorong untuk menanggapi kasus kekerasan yang berkembang di Maluku (Debora, 2011).

Sampai pada akhirnya pemerintah pusat pun memimpin proses perdamaian. Pada 11 Februari 2002 di pegunungan Malino Sulawesi Selatan terjadilah penandatanganan perjanjian damai Malino II, yang mana dalam hal ini ada dua tokoh negara pada saat itu ikut andil di dalamnya, beberapa tokoh negara tersebut yakni: Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Kordinator Urusan Politik, Hukum, serta Jusuf Kalla, Menteri Kordinator Kesejahteraan Rakyat. Atas perintah dari Jusuf Kalla, Gubernur Maluku memilih perwakilan dari masing- masing kelompok (Muslim dan Kristen), 35 dari komunitas Muslim, dan 34 dari komunitas Kristen, 69 orang tersebut lalu berkumpul di Malino selama tiga hari. Hingga pada akhirnya mereka melakukan penandatanganan perjanjian damai Malino II.

Namun, dalam hal ini harus diakui bahwa pasca penandatanganan perjanjian Malino II masih ada persoalan besar yang masih belum bisa dituntaskan. Terbukti dengan adanya kematian Saiman salah satu tukang ojek yang beragama Muslim. Dilansir dari (detiknews.com) dalam hal ini keterlibatan para apparat sebenarnya sudah ada di setiap ranting dalam konflik. Namun, yang dilakukan pemerintah pusat pada ssat itu dalam mengatasi konflik Ambon adalah Perjanjian Malino II, padahal yang sebenarnya hingga kini perjalanan Perjanjian Malino II justru ditinggalkan pemerintah. Di sini bisa dilihat bahwa peran negara dalam menangani konflik Ambon sangat minim. Oleh sebab itu, Ketika ada bentrokan Kembali, pendekatan pasca peperangan yang dilakukan pemerintah yakni dengan adanya penambahan pasukan Brimob dan TNI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun