Mohon tunggu...
Umbu Tagela
Umbu Tagela Mohon Tunggu... Guru - guru

olahraga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Gerobak dan Pesawat

27 Desember 2022   18:30 Diperbarui: 27 Desember 2022   20:20 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ANTARA GEROBAK DAN PESAWAT

( Mentalitas Kerja di Antara Kecenderungan Mentalitas Nasional )

Oleh : Umbu Tagela

Pengajar di UKSW Salatiga

Antara gerobak ( pedati ) dan Pesawat, demikianlah ilustrasi antara mentalitas kerja kita yang sekarang sedang berjalan dan mentalitas nasional yang kini sedang berlangsung pula.

Gerobak dan Pesawat, dua sarana yang sama-sama di hasilkan oleh tangan dan hati serta pikir manusia. Tetapi dua sarana itu mewakili dua jamannya masing-masing. Jaman kita barangkali masih merupakan pertemuan dari keduanya, paling tidak tersentuh singgungnya.Mentalitas, saya maksudkan sebagai sikap dan pandangan terdalam atas sesuatu ( dalam hal ini kerja ), dalam kaitannya dengan nilai-nilai tertentu ( misalnya kekristenan ) dan kecenderungan yang ada dalam kehidupan masyarakat dan bangsa kita kini.

Kerja Untuk Apa? ini adalah sebuah pertanyaan, dan kadang kala tidak perlu di jawab. Mengapa ? karena kita sudah terbiasa bekerja tanpa perlu di tanya untuk apa itu di kerjakan. Kalau kala ini kita di perhadapkan dengan pertanyaan itu, dan baiknya kalau kta mengerutkan jidat sebentar. ‘Oh ya, kerja untuk apa ? ‘. Jawab atas pertanyaan ini bisa kita dapatkan dari diri ( berdasar atas pemahaman dan kesadaran ) kita masing-masing tetapi bisa pula kita dapatkan dari nilai-nilai yang kita akui kebenarannya di dalam kehidupan kita, misalnya, ajaran agama, pandangan masyarakat dan pandangan hidup kita. Persoalannya ialah, yang mana dari antara nilai-nilai itu yang kita anggap sebagai milik kita ; ajaran agama ? pandangan masyarakat ? atau pandangan hidup bangsa ? Sebagai generasi muda ( Kristen ) yang juga adalah generasi muda bangsa, kita perlu mempertanyakan hal tersebut diatas dalam rangka nilai-nilai keimanan kita ( termasuk iman kristen ) .

Dalam ajaran ( Kristen ) di sebutkan bahwa manusia adalah makhluk mulia yang di beri mandat untuk bekerja. Mandat itu, Begitu menurut Alkitab ( Kejadian 1 ) di berikan Tuhan dengan maksud agar manusia memuliakan Tuhan Allah. Membuat manusia itu sendiri sejahtera, sesama ciptaan sejahtera, dan bahkan alam semesta ini terpelihara dengan baik. Melalui pekerjaan manusia, Tuhan di hormati dan di muliakan.

Di samping tujuan religius yang berpusat pada memuliakan tuhan, tujuan lain dari mandat budaya itu ialah untuk membuat manusia sejahtera hidupnya di dalam pergaulannya dengan sesama, dengan alam dan dengan Tuhannya. Dengan kata lain, manusia melalui pekerjannya dan di dalam ia bekerja, memperoleh sesuatu yang membuat hidupnya  semakin baik, lahir maupun batin. Itulah sebabnya kita sering berkata, bahwa tujuan bekerja ialah mencari dan mengusahakan : pengembangan kepribadian, kepuasan batin dan nafkah. Secara ringkas, mandat budaya bekerja itu dapat di simpulkan yakni untuk menyatakan kemuliaan Tuhan, untuk memenuhi kebutuhan serta pengembangan pribadi dan kesejahteraan alam semesta.

Norma-Norma Kerja Kita sudah tahu untuk apa kita bekerja. Pertanyaan kita ialah apa yang menjadi patokan penilaian atas kerja kita itu ? Dan bagaimana suatu pekerjaan dapat di nilai baik, kurang baik, dan tidak baik ? Ambillah misalnya, pekerjaan pelayanan kristen, dan sedikitnya bisa kita jajarkan norma-norma seperti : adakah di dalam bekerja itu kita mengucap syukur dan memuliakan Tuhan ? apakah kerja kita memang di lakukan dengan benar, jujur, adil dan penuh kasih ? atas dasar norma-norma itu, semua pekerjan dan pelayanan kita di ukur dan di nilai. Mentalitas kerja kita haruslah berlandaskan kebenaran, kejujuran dan keadilan dan cinta kasih. Bila tidak, maka kita bisa mengatakan bahwa mentalitas kerja kita salah dan tidak cocok dengan nilai kekristenan. Begitu pula dengan hasil pekerjaan yang kita lakukan, harus menyatakan kebenaran, kejujuran, keadilan dan cinta kasih dan syukur. Oleh sebab itu,  di dalam kita menilai kerja dan hasilnya, tidak cukup hanya dari salah satu aspek kerja, misalnya dari motivasi kerja saja, tetapi juga cara kita bekerja. Sebab, walaupun motivasi bekerja kita baik, tetapi cara kita melakukan kerja itu tidak baik, maka hasilnyapun tidak baik. Sebaliknya, walaupun motivasi bekerja kita salah/keliru, tetapi cara bekerja kita lebih baik, maka hasilnyapun akan baik. Demikianlah, hasil suatu kerja sangat di tentukan oleh motivasi dan cara kita kerja .

Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa bekerja atau kerja itu dilakukan dengan penuh dedikasi, atau dengan penuh jiwa pengabdian. Mengabdi kepada siapa ? Kepada majikan, kepada pemimpin ? bukan ! kita memang melakukan pengabdian dan menghamba, tetapi bukan kepada majikan atau pemimpin, melainkan kepada Tuhan Allah. Bekerja atau kerja atas dasar pengabdian tidak bisa di ukur dengan uang atau terpenuhinya kebutuhan hidup  pribadi dan keluarga. Bekerja atau kerja atas dasar imbalan semata-mata, sesungguhnya telah menurunkan nilai kerja itu sendiri, dan inilah yang di namakan kerja tanpa pengabdian. Memang pengabdian menuntut pengorbanan, perjuangan dan penerimaan atas segala resiko yang pahit. Walau begitu, seseorang yang bekerja atas dasar pengabdian, tidak akan pernah merasa kecewa, putus asa dan frustasi, karena yakin bahwa ia bekerja bukan semata-mata untuk diri sendiri, terutama untuk tuhan sebagai wujud ucapan syukur dan terima kasih atas keselamatan yang di berikan tuhan kepadanya.

Mentalitas Kerja Kita Dan Mentalitas Kerja Nasional Memang, kita belum tahu persis seperti apa mentalitas nasional kita, walaupun Presiden Jokowi dengan slogan kerja, kerja dan kerja. Namun, berdasar atas pandangan hidup bangsa kita yakni Pancasila, maka kita dapat menyatakan bahwa mentalitas nasional kita adalah mentalitas kerja Pancasila. Pertanyaan kita adalah, macam apa itu mentalitas Pancasila ? Di sinilah kesulitannya melukiskan mentalitas bangsa indonesia, mengingat betapa anekanya keadaan masyarakat kita dengan kepelbagaian nilai-nilai budayanya, agama dan nilai-nilai lainnya yang kini sedang berkembang. Lukisan dan panorama nilai-nilai yang ada saja, sudah membuat kita bertanya, yang mana yang sebenarnya nilai yang kita anut.Apalagi jika kita mau menanyakan mentalitas kerja nasional yang seperti apa ? Namun demikian, ada suatu fakta yang tidak perlu di ragukan lagi yakni bahwa bangsa kita sedang melaksanakan pembangunan dan modernisasi itu. Dengan demikian, kita bisa berkata, bahwa kini tengah berlangsung satu mentalitas pembangunan dan modernisasi yang pada umumnya bisa kita lihat sebagai suatu gerak kerja nasional, perencanaan sebagai orientasi, pentahapan sebagai pedoman pelaksanaan, dan pembangunan fisik sebagai penampakan utamanya.

Dalam suasana kerja itulah, kita kini bekerja. Dalam kondisi seperti itulah mentalitas kerja kita uji, di nilai dan di kaji kemantapan dan ketangguhannya. Apakah cukup kuat idealisme kerja kita di tengah ide-ide rasional dan gaya modern yang kini tengah berlangsung ?

Apakah cukup pengabdian kita di tengah kenyataan pembagian rejeki dan penikmatan kesempatan, kesetiaan dalam bekerja salah, kerja sambil ngobyek ? apakah mentalitas kita tidak akan goyah bertatapan dengan mentalitas yang arusnya lebih kuat ? Benarkah bahwa gerak kerja kita cukup mapan dari sudut rasionalisasinya, perencanaanny, pertahapannya dan pengembangan mental secara materialnya ? Bila tidak, maka tidak lama lagi mentalitas kerja kita akan ambruk karena sudah rapuh. Kita harus selalu kritis terhadap pola kerja dan pelayanan kita, dan jangan sampai kita tertelan arus tanpa kita sendiri mampu mengerti kemana arus itu mengalir, dan bagaimana kita bisa keluar dari arus yang mengalir deras itu. Setidak-tidaknya kita tetap sadar bahwa kita sedang berada di dalam arus itu. Kita juga bekerja bukan untuk menentang arus, karena kesetiaan kita kepadatuhan tidak dengan maksud untuk berada pada pihak yang bertentangan dengan masyarakat dan pemerintah. Adalah keliru untuk berpendapat bahwa kerja dan pelayanan kita sebagai perlawanan terhadap kerja dan pelayanan pemerintah, bahkan justru kita perlu dan harus menjalin kerja sama dengan pemerintah dan aparatnya. Yang perlu kita perhatikandan jangan di lupakan adalah nilai-nilai kita sendiri yakni kebenaran, kejujuran, keadilan, kasih dan syukur kepada tuhan. Inilah yang seharusnya membedakan pelayanan dan kerja kita. Kita boleh larut dalam cara kerja, tetapi tidak dalam motivasi, sebab kita bekerja untuk mengabdi dan bukan perampok.

Gerak Dan Langgam kerja kita Ada suatu gerak yang tak dapat begitu saja di ubah dari kerja dan pelayanan kita yakni langgam dan iramanya. Gerak kerja kita ibarat langgam keroncong di pdu dengan irama jazz. Lebih runyam lagi, kalau cara kerja kita bagaikan orang sedang klenengan nyamleng di tabrak musik rock dan dangdut. Inilah kondisi kerja kita saat ini. Bukankah kita tahu bahwa kebanyakan langgam kerja kita ( pelayanan kristiani ) masih bergerak dengan lamban, asal ada iman, kurang terencana, tidak jelas tahap-tahapnya, idealisme melulu, dan kasih serta pengabdian belaka ? Ibarat perjalanan sebuah gerobak, yang meskipun kita lelap tertidur di dalamnya, sang sapi aku berjalan terus dan akhirnya ke tujuan. Bahkan tak jarang terjadi, ketika sang sapi berpapasan dengan sapi lain jenisnya, lalu berhenti dengan omong-omong dengan bahasanya, sementara kita terbangun dari tidur dan mimpi jadi sapi, lantas dengan tergopoh kitapun menyapa tukang pedati lainnya : ‘apa kabar bang?”. Ini masih mendingan ( lumayan-red. ), saking kaget, bahkan kita tidak sempat menyapa lagi, dan serta merta mengusik sapi, ‘huss ........ herrrrrr .... huss ..... herrrr’ dan gerobakpun bergerak di tari sang sapi.

Aman memang, berjalan dengan goncangan dan irama gerobak, biarpun berpapasan dengan mobil dan segala macam kendaraan, sebab semuanya akan minggir sambil tersenyum, ‘maklum gerobak sih’. Maka minggirlah mercedes, Holden, Volvo, Toyota, Sepeda, Truk,  bahkan pejalan kaki, semua minggir dengan penuh pengampunan karena maklum dan mengerti bahwa kita ini Cuma gerobak, atau mungkin merasa kasihan kepada sapi kita ?

Kita memang berada di antara gerobak dan jet, antara dua gerak yang sungguh berbeda. Dimana kita sekarang ? Anda di mana dan kita di mana ? Baiklah, tetapi awas, perjalanan gerobak bukan tanpa rintangan, karena kita harus awas, jangan sampai melewati pintu penutup kereta api yang tidak lagi berfungsi, karena kereta api tidak pernah peduli,apakah dia sapi/gerobak,  siapa saja akan di gilasnya dan tidak ada ampun. Ia tidak peduli dengan huss...... herrrrrr, tidak peduli karena klakson dan sempritan, ia akan melaju terus. Dan kita, ya .... huss .... herrrrrr, namun awas, jangan sampai lelap tidur dan mimpi jadi ..... huss ...... herrrrr....sapi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun