Pada dasarnya, alasan mukim atau tidak pulang itu tidak akan kuat jika tidak dilandasi oleh rasa hormat kepada kiai atau nyai sebagai figur teladan yang dipatuhi dan dita'dzimi.Â
"Alasan saya, pengalaman itu guru terbaik ada pepatah seperti itu, nahhh... Saya memilih lebaran dipondok itu sebuah pengalaman yang tidak bisa terulang lagi ketika saya sudah dewasa dan sudah punya pendamping hidup atau sudah punya anak, oleh karna itu selagi masih jadi santri saya akan belajar dari pengalaman, dari pengalaman ini banyak hal baik yg diarahkan untuk dikerjakan, saya jadikan sebagai pengetahuan dan pelajaran baik yang harus saya terapkan, kalau belum bisa menerapkan minimalnya saya tahu seperti apa siii lebaran dipondok itu hehehe," katanya dengan penuh kebahagiaan.
Merayakan Idul Fitri di pondok tidak kalah menyenangkan dengan merayakannya di rumah bersama keluarga. Meski tidak sama, namun ada hal menarik yang membuat lebaran di pondok terasa sangat membahagiakan.Â
Bertakbiran bersama di ndalem, salat Ied di masjid Al-Munawwir pusat bersama para masyayikh pondok yang penuh hikmat, serta bisa sungkem setelahnya merupakan energi positif yang menimbulkan perasaan bahagia.Â
Bagi kami, santri yang memilih mukim di pondok, memanfaatkan momen ini untuk sowan, membantu Bu Nyai membersihkan pondok, dan melayani tamu yang tidak pernah sepi.
Hal yang berbeda dan menarik saat mukim di pondok yang kami rasakan adalah dengan jumlah santri mukim yang jauh lebih sedikit dari biasanya, kita dapat lebih banyak melakukan sowan-sowan kepada masyayikh dan dzurriyah pondok.Â
Sowan yang dilakukan bisa lebih intens karena masih dalam suasana Idul Fitri yang sangat kental dan mendapatkan hikmah serta doa beliau secara langsung. Kesempatan inilah yang menjadikan mukim berbeda serta jarang didapatkan oleh santri pada umumnya.Â
"Hal menariknya itu berbeda dengan lebaran dirumah. Dirumah lebaran bisa dirasakan 1 sampai 2 hari, Dipondok BETA rasanya full penuh dibulan syawal, karna dari tanggal 1 syawal hingga selesai bulan syawal banyak yang berdatangan pada beliau pengasuh pondok BETA Krapyak Yogyakarta (Ny Hj Durroh Nafisah) untuk mengucapkan selamat hari raya idul fitri, meminta maaf serta meminta barokah doanya dengan harapan Allah memberkahi hidupnya," ujar santri yang kerap dipanggil roi oleh Bu Nyai Nafisah
Meskipun sudah kedua kali merasakan lebaran di pondok, perasaannya tetap sama, yakni campur aduk. Sebagai manusia, rasa sedih dan kangen ingin sungkem orang tua pasti ada. Namun, semua gelora itu ditahannya dengan penuh suka cita diganti dengan rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang tidak ada habisnya.Â
"Perasaan sebetulnya sedih, senang, dan bersyukur. Sedihnya saya tidak bisa sungkeman meminta maaf dan berjabat tangan secara langsung dengan bapak ibu, keluarga, saya meminta maaf hanya bisa lewat lisan via VC WA dan tulisan chat WA, dari situ saya mengucapkan selamat hari Raya Idul fitri, meminta maaf dan meminta doa dari keluarga. Senangnya lebaran saya dipondok, keluarga di rumah ibu dan bapak saya alhamdulillah sehat dan keluarga juga sehat sehat. Senang dan bahagia semua karena saya dan Keluarga sudah saling memaafkan. Alhamdulilah keluarga mengizikan dan mendukung penuh keputusan saya untuk berlebaran di pondok, gak merasa keberatan saya lebaran dipondok, karena memang saya ada niatan untuk tau dan belajar, lebaran dipondok. Bersyukurnya pengetahuan dapat didapatkan dari pengalaman, kalau saya tidak punya pengalaman lebaran dipondok mungkin saya kurang begitu faham, bagaimana saya menghormati hari Raya Idul fitri," ucapnya santri yang kerap dipanggil mba iha di BETA. Â