Dengan tidak adanya sistem yang kompetitif, guru yang masuk kedalam kelas sekalipun hanya sekedar untuk basa-basi akan tetap menjadi guru jika statusnya PNS. Adapun program pemerintah untuk meningkatan kompetensi guru melalui program sertifikasi yang faktanya program ini menghabiskan begitu banyak anggaran tetapi hanya sekedar formalitas yang tidak benar-benar meningkatkan kualitas guru secara signifikan.
Ketiga, dunia telah berubah dalam satu dekade terakhir dimana informasi begitu mudah diakses melalui perangkat yang berbasis online. Siswa dapat belajar secara mandiri dari berbagai sumber sehingga fungsi guru sebagaimana yang ada pada model pembelajaran tradisional ikut berubah.Â
Guru tidak relevan lagi diposisikan sebagai sumber utama yang menyuplai pengetahuan kepada siswa. Melainkan mereka dituntut untuk menjadi fasilitator yang dapat menstimulus siswa untuk mengembangkan skill, pengetahuan, dan kreatifitas mereka. Terbukti, model pendidikan tradisional dimana guru menjadi sumber pengetahuan mutlak gagal melahirkan generasi yang inovatif di segala bidang.Â
Dalam gagasan tentang program training guru lokal oleh pengajar asing, tampaknya pemerintah masih memandang guru sebagai sumber belajar utama bagi para siswa sehingga mereka perlu mendapatkan transfer ilmu dari pengajar asing yang belum tentu lebih paham pendidikan karakter dan masalah yang dihadapi oleh para guru lokal dalam aktivitas pengajaran sehari-hari.Â
Oleh karena itu, para guru lokal seharusnya didorong untuk menjadi kreatif dengan menciptakan model pembelajarannya sendiri melalui riset ketimbang meniru apa yang dilakukan oleh para guru asing yang menerapkan pengetahuan mereka di konteks yang berbeda dari apa yang dialami oleh para guru lokal. "Different pond, different fish", beda kolam beda pula ikannya.
Sebagai kesimpulan, rencana pemerintah yang ingin mendatangkan pengajar asing sebagai trainer untuk guru lokal tanpa membenahi sistem pengembangan guru profesional dan menciptakan sistem yang memungkinkan guru menjadi kreatif dan kompetitif perlu ditinjau ulang.Â
Penulis memandang bahwa pengajar asing dan lokal memiliki relasi kekuasaan hirarkis yang berbeda dimana trainer asing berperan sebagai pemberi dan guru lokal sebagai penerima ilmu. Sehingga guru lokal sangat rentan menjadi peniru yang tidak kreatif. Jangan sampai kebijakan ini justru menjadi pintu imprealisme pedagogis dimana model pembelajaran di negara Barat dipaksakan untuk digunakan di konteks sekolah Indonesia yang memiliki situasi dan kebutuhan khusus.Â
Kita perlu belajar dari belahan dunia lain yang telah memiliki sistem pendidikan yang lebih maju dengan sumber daya guru yang lebih baik. Akan tetapi, kita juga harus memahami kontradiksi dan kebutuhan kita sendiri dan menghadirkan formula yang tepat sesuai dengan masalah yang kita hadapi. Oleh karena itu, yang kita butuhkan adalah sistem yang memungkinkan para guru untuk terdorong mengembangkan diri secara mandiri tanpa ketergantungan pada training yang difasilitasi oleh pemerintah.Â
Sampai kapan pemerintah menyuapi para guru melalui pelatihan jika guru itu sendiri enggan untuk mengembangkan kompetensi bidang ilmu dan pedagogis yang mereka miliki. Sekali lagi, guru bukan bejana, bukan mesin otomatis. Mereka adalah manusia yang punya potensi untuk mengembangkan diri dan pemerintah seharusnya menjadi stimulator melalui sistem yang diciptakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H