Mohon tunggu...
umaralfaruqi
umaralfaruqi Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Menulis dan membaca sebanyak mungkin untuk menambah wawasan. Agar tidak kuper. Dakwah Islam.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sejarah Singkat Wahabi

9 November 2018   22:48 Diperbarui: 9 November 2018   23:09 1244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kondisi politik dan budaya Arab Saudi masa sekarang merupakan hasil dari pergerakan keagamaan yang berawal di pusat Arabia pada pertengahan abad kedelapan belas. Kegerakan ini, secara luas dikenal sebagai gerakan Wahabi, merupakan hasil dari dakwah Muhammad Bin Abdul Wahab, seorang ulama Islam yang belajar di Mesopotamia dan Hijaz sebelum akhirnya kembali ke tempat asalnya, Najd untuk mendakwahkan ajarannya yang dianggap reformasi Islam.

Muhammad Bin Abdul Wahab prihatin dengan cara ibadah penduduk Najd yang dianggap seperti penyembahan berhala, contohnya berdoa kepada orang-orang suci, ziarah ke kubur dan Masjid khusus, memuliakan pohon, goa dan batu.

Ia juga prihatin mengenai kurangnya pemahaman masyarakat saat itu terhadap hukum Islam dan cara beragama yang benar. Tidak memerhatikan para janda dan anak yatim, banyaknya perzinahan, meremehkan kewajiban Sholat, dan gagal melaksanakan pembagian waris yang adil terhadap wanita.

Di saat Muhammad Bin Abdul Wahab mulai berdakwah guna melawan praktik-praktik yang dianggapnya tidak Islami itu, dan dia menganggapnya sebagai praktik Jahiliyah---yang merupakan atribut yang sama diberikan pada penduduk Arab di masa sebelum Nabi SAW.

Pada awal dakwahnya, Bin Abdul Wahab berhadapan dengan para penentangnya, namun kemudian ia mendapat perlindungan dari seorang kepala Suku lokal bernama Muhammad Bin Saud, dengannya ia bersekutu.

Inilah penyebab bertahan dan berkembangnya pergerakan Wahabi dikarenakan persekutuan antara pendiri Wahabi dan kekutaan politik dari Al Saud yang berada dibagian selatan Najd.

Hubungan antara Al Saud dan Bin Abdul Wahab, beserta keturunan dan para pengikutnya secara efektif merubah kesepakatan (Kesetiaan) bersifat politik menjadi sebuah "kewajiban dalam agama".

Menurut fatwa Muhammad Bin Abdul Wahab, setiap Muslim harus mem-bai'at, kepada penguasa Muslim selama hidupnya. Sedangkan si penguasa, berhutang karena bentuk bai'at itu dari rakyatnya dan dituntut untuk memimpin masyarakatnya sesuai hukum Allah.

Karena menurutnya tujuan inti dari masyarakat ialah menjadi pemegang dan pengamal yang hidup terhadap hukum-hukum Allah Ta'ala, dan hal ini merupakan tanggung jawab sah seorang penguasa untuk memastikan bahwa rakyatnya mengetahui hukum Allah Ta'ala dan hidup dibawah naungannya.

Selanjutnya Muhammad Bin Saud merubah ibukota, Ad Diriyah, menjadi pusat studi Islam dibawah bimbingan Muhammad Bin Abdul Wahab dan ia mengirimkan para pendakwah untuk menyebarkan "Islam reformasi" ini ke semenanjung Arab, teluk dan hingga Siria dan Mesopotamia.

Dibawah bendera agama dan dakwah Tauhid ala Muhammad Bin Abdul Wahab dan kepatuhan total terhadap penguasa Muslim, maka Al Saud memperbesar dominasinya hingga menyebrang semenanjung dari Mekah hingga Bahrain pada tahun 1803, menempatkan para guru agama, membangun sekolah dan para aparat untuk berkuasa.

Pengaruh cara beragama Bin Abdul Wahab sudah tertancap kuat dimasyarakat ini sebagai hasil keberhasilan kerja-sama antara Bin Abdul Wahab dan Al Saud, dapat dilihat meski Sultan Otoman berhasil menghancurkan pengaruh politik Wahabi dan meluluh-lantahkan ibukota Wahabi di Ad Diriyah pada tahun 1818, namun ajaran Wahabi sudah tertanam secara paten di sejumlah distrik bagian Selatan Najd dan Jabal Shamar dibagian utara.

Pada akhirnya ajaran Wahabi menjadi ideologi utuh dan memperoleh legitimasi politik di semenanjung Arab disaat trah Al-Saud kembali meraih kekuasaan seabad kemudian.

Ajaran utama Muhammad Bin Abdul Wahab ialah Tauhid. Pergerakan ini dikenal oleh para pengikutnya sebagai ad dakwah lil Tawhid, dan mereka yang mengikutinya disebut Muwahhidun. Panggilan Wahabi sudah menjadi trade mark dan digunakan oleh para ulama Najd dimasa sekarang.

Penekanan Tauhid oleh Abdul Wahab merupakan upaya membedakan diri dari Sirik, penyembahan berhala, dan mempersekutukan manusia maupun objek sebagai kekuataan sebanding dengan Tuhan.

Bin Abdul Wahab juga mengutuk sejumlah praktik yang ia pandangan dapat membawa kepada Syrik, seperti berdoa kepada orang-orang suci, kuburan dan menggunakan Wasilah.

Alhasil para Wahabi melarang diberikan nama, tanda dan identitas apapun pada batu nisan dan pula membangun tempat ibadah yang dianggapnya berpotensi mendatangkan praktek Syirik.

Selain itu juga praktek-praktek seperti peringatan kelahiran Nabi (Maulid), mistik Sufi dan upacara duka ala Syiah di larang.

Fatwa pengutukan terhadap segala praktek yang dianggap Syirik, di hadirkan dengan agresi militer pada tahun 1802, para Wahabi menjarah dan menghancurkan salah satu kuil Syiah, makam Husain, putra dari Ali Bin Abi Thalib dan cucu Nabi di Karbala Irak.

Pada tahun 1804 para Wahabi menghancurkan sejumlah makam di komplek pemakaman dari para orang suci di Madinah.

Wahabi mengikuti mazhab Ahmad Bin Hanbal, para ulamanya hanya menerima otoritas al-Quran dan as-Sunnah. Para ulama Wahabi menolak pemahaman Takwil dikarenakan dianggap Bid'ah.

Ajaran Wahabi amat menekankan penampilan luar dan tingkah laku yang tampak sebagai ceminan iman seseorang. Cara seseorang berpakaian, beribadah, atau aktivitas lainnya menjadi "pengesahan" oleh masyarakat apakah orang tersebut Muslim sejati atau bukan.

Karena bagi Wahabi, keimanan seseorang dapat terlihat dengan cara yang kasat mata. Seorang Muslim dapat menjadi objek penilaian publik hanya dengan mengamati kelakuan dan penampilannya.

Di dalam komunitas Wahabi---yang berjuang keras sebagai pengamal hukum Tuhan---adalah merupakan kewajiban setiap untuk "menjaga" kelakuan tetangganya dan menasihati mereka jika tersesat.

Untuk memastikan bahwa seluruh masyarakat Muslim "bergabung" dalam kampanye "moral apa yang benar dan salah" maka muncullah para Mutawwin yaitu para sukalerawan dan yang patuh dan menjadi instrumen integral dalam gerakan Wahabi.

Mutawin bertugas sebagai "misionaris", pengatur moral publik, dan sebagai hakim publik untuk urusan agama yang berdakwah setiap Jum'at.

Para Mutawi ini bertugas untuk menceramahi bahkan menyeret bahu mereka untuk memaksanya agar Sholat. Sebagai tambahan, mereka juga bertanggung jawab untuk mengawasi penutupan toko pada waktu Sholat, kondisi moral publik seperti memainkan musik, merokok, meminum alkohol, memiliki rambut panjang (Untuk pria) dan tidak tertutup (Untuk wanita) dan berpakaian sesuai Syariat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun