Apakah proyek penelitian oleh lembaga-lembaga tertentu juga termasuk ?
Bagaimanakah proses pengajuannya ?
Jurnal-jurnal sementara, nasional atau internasional mana yang akan menampungnya ?
Apakah mahasiswa-mahasiswa yang tidak bisa menembus jurnal-jurnal tesebut, dengan karya ilmiah yang ada harus meneliti lage dengan topik yang lebih berbobot ? bila itu terjadi apakah mahasiswa abadi akan diciptakan dengan kebijakan ini ?
Secara umum ada banyak hal subtantif dan teknis yang tidak dijelaskan dari kebijakan tesebut.
Pemerintah (DIKTI)
Idealnya sebuah kebijakan dibuat atas dasar pertimbangan-pertimbangan serta perhitungan-perhitungan yang tepat, dan prediksi mengenai hal-hal yang akan terjadi bila kebijakan ini di Implementasikan dan dengan melibatkan semua stakeholder yang terkait. Dari berbagai kritikan dan sanggahan yang kita lihat sampai sekarang ini.Menurut saya Kebijakan ini cenderung dipaksakan dikeluarkan tanpa merangkul pihak-pihak terkait untuk duduk bersama membahasanya lebih subtantif dan lebih teknis, misalnya dunia kampus dan akademis, seharunya dunia kampus dan akademis menjadi menjadi penyumbang suara terbanyak atas kebijakan ini, karena merekalah yang dikenai imbas atau sasaran utama dari kebijakan ini. Namun yang terjadi sangat paradoks.
Sebagiamana kebijakan-kebijakan lain, dibuat selalu saja ada pertimbangan politis yang turut serta merumuskan kebijakan tersebut. Saya melihat ada semangat berpacu di antara kementerian-kementerian, masing-masing tidak mau kalah satu sama lain. Bila dibandingkan dengan Kementerian BUMN, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan dan lainnya. Kementerian Pendidikan dan kebudayaan adalah kementerian yang paling banyak disoroti akhir-akhir ini karena tidak mampu berprestasi dengan dana yang berlimpah setidaknya 20%, tidak dapat menghasilkan kulitas SDM (Sumber Daya Manusia) dilihat dari SDM Indonesia yang sangat minim dan angka pengangguran tinggi diaman salah satu penyumbangnya adalah lulusan Perguruan Tinggi.
Menurut hemat saya, keahlian dalam menulis dan meneliti itupun harus dipelajari tidak sebatas pada akhir masa kuliah, melainkan ada sebuah sistem yang berkesinambungan dan konprehensip dilakukan, dimulai dari pendidian SD, SMP, SMA, Perguruan tinggi diajarkan cara-cara menulis dan meneliti dan pada akhrinya "pengharusan" ini tidak lagi menjadi beban bagi mahasiswa.
Publik mencerca, Presiden gelisah, Instruksi dilakukan, dan Kementerians bergerak. Tapi apa alas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, terlalu responsip tanpa perhitungan yang matang dan teruji sehingga kebijakan publikasi ilmiah ini pun lahir prematur.
Yogyakarta, 09 Februari 2012