Bokir duduk termenung menatap langit, melihat bintang, suara televisi dalam ruang keluarganya nyaris tak terdengar, terkalahkan oleh bisingnya pikiran dalam kepalanya.
Menarik nafas panjang, mengatur irama jantungnya, dia terheran, kebiasaan lamanya yang sudah lama tidak pernah muncul, muncul malam itu,
dia mulai berbicara pada Bikir, Bikir pendengar setianya.
"Coba toh, Kir, dipikir, Tuhan itu agamanya apa?"
Bikir bengong.
Bokir melanjutkan,"Kalau semua agama ngakunya mengajarkan kebaikan ya Kir, kenapa kok pengikutnya beringas-beringas ya? Kalau agama yang satu bilang agama lainnya itu sesat, yang dibilang sesat ngamuk, terus bilang lagi ke yang bilang sesat tadi, - 'Duasar mbokmu bodol, kamu yang sesat!', lah yang dibalikin bilang sesat ga terima, terus bacok-bacokan, bakar-bakaran, terus damai.
Besok-besok ya gitu lagi, gitu lagi."
Bikir tetap bengong.
"Tuhan sih, ga mau ngaku agamanya apa, mbok ya Dia itu pakai terompet kek,
-bilang 'Hoooooiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii, Aku ini agamanya anu!',
'kan beres toh, dari pada masing-masing agama itu seolah-olah memiliki hak eksklusivitasnya masing-masing, mengklaim, jalan ini paling betul, yang sana juga ngomong gitu, yang sini ga terima, yang sana tersinggung, bacok-bacokan, bakar-bakaran, terus damai, besok-besok, gitu lagi."