Begitu hebatnya ilusi, ilusi itu sendiri menjadi kenyataan, kita ini terbentuk oleh sebuah ilusi yang berjudul "AKU" yang kemudian berkorelasi dengan milikku, punyaku, diriku, identitasku, profesiku, dan seabrek "ku-ku" lainnya.
Tenang, saya tidak sedang membahas benar dan salahnya pola pikir ilusi "AKU", namun yang sedang cukup mengganggu dalam pikiran adalah labelling bila tak mau disebut stigma, yang diciptakan oleh masyarakat yang kemudian mengarah pada stereotyping dan generalisasi.
Kebanyakan kita melihat diri kita dari kacamata orang lain yang memandang kita, kita merasa tidak cukup puas melihat diri kita bila kita tidak cukup sama dengan orang lain yang kita pandang, disinilah pokok ilusi "AKU" yang saya maksudkan.
Kita terpana melihat iklan sebuah kebahagiaan, tabungan yang cukup, rumah di perumahan ternama, dua anak, kalau bisa sepasang, senyum lambaian tangan istri menghantarkan suami berangkat kerja menggunakan dasi dan setelan jas misalnya, merek mobil yang menunjukkan status.
"Itu lho bahagia!" jelas proses pikir ilusi "AKU" pada kita.
Identitas ilusi "AKU" , membuat orang yang naik mobil anu, kalah derajat dengan orang yang naik mobil merek inu.
Identitas ilusi "AKU", kalau tidak menenteng Tablet PC di mall, aku ini tidak lengkap sebagai aku.
Pola-pola identitas ilusi "AKU" cenderung mengkaitkan identitas diri kita pada apa yang kita miliki, jadi kita seringkali merasa tidak lengkap sebelum memiliki ini, itu dan hal-hal yang sebenarnya tidak kita butuhkan, thus identitas ilusi "AKU" adalah cikal bakal konsumerisme yang menggerogoti sebagian bessssaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrr dari spesies kita.
Identitas ilusi "Aku" juga cikal bakal penggembokan identitas diri kita yang sebenarnya, adalah baik adanya norma dan aturan yang ada dalam lingkup sosial bermasyarakat dan bernegara, identitas ilusi "AKU" berkata pada kita, tentang baik dan buruk, benar dan salah, membentuk pola pikir kita sedari usia dini, positifkah ini, jelas positif, benturan dan chaos dapat diminimalkan.
Sisi negatifnya - bila aku tidak sama dengan orang itu, maka aku ini bukan orang, aku ini tidak atau belum lengkap sebagai orang, apa itu namanya kalau bukan stereotyping?
Aku yang sebenarnya, tenggelam oleh "AKU" identitas ilusi.
Aku yang sebenarnya tidak baik dimunculkan di publik, biarlah aku tinggalkan aku yang sebenarnya dirumah saja, kalau perlu, aku tanam dibawah tanah, saking lamanya sering ditinggal, identitas ilusi "AKU" menjadi identitas realita, realita ilusi, ilusi realita.
Kesadaran tentang perbedaan aku dan identitas ilusi "AKU" berbahaya.
Kesadaran itu membawa kita menelusuri perjalanan jauh, perspektif atau cara pandang kita tentang kehidupan menjadi sama sekali berbeda, seperti mendayung ke hulu, ada kegetiran dan kelelahan yang sangat, berliku, licin, penuh ranjau, belum lagi gravitasi ilusi dari identitas ilusi "AKU" yang menarik-narik ke hilir.
Kesepiannya seringkali mencekam.
Tidak ada batu timbang yang jelas, batas benar, batas salah, batas buruk, batas baik menjadi pola sebab dan akibat yang sudah semestinya terjadi, tidak hanya itu, eksistensi dan koeksistensi hitam dan putih, baik dan buruk, benar dan salah, bak Utara dan Selatan, Timur dan Barat, bukan lagi berlawanan, tapi berkorelasi, meregang, saling menahan dan menopang dalam kehampaan.
Konon Kabarnya seorang Guru Besar pernah menyelamatkan seorang penzinah dari ancaman hukum rajam oleh masyarakat, kata Beliau,
"Silahkan! Barangsiapa diantara kalian yang merasa tidak memiliki dosa, atau tidak pernah berbuat salah, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu!"
Mendengar perkataan itu, seorang demi seorang, mulai dari yang tertua pergi meninggalkan tempat itu.
Kesadaran akan keberadaan identitas ilusi "AKU" menghantarkan cermin diri.
Kesadaran akan keberadaan identitas ilusi "AKU" adalah titik awal perjalanan, akhirnya.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H