Aku yang sebenarnya tidak baik dimunculkan di publik, biarlah aku tinggalkan aku yang sebenarnya dirumah saja, kalau perlu, aku tanam dibawah tanah, saking lamanya sering ditinggal, identitas ilusi "AKU" menjadi identitas realita, realita ilusi, ilusi realita.
Kesadaran tentang perbedaan aku dan identitas ilusi "AKU" berbahaya.
Kesadaran itu membawa kita menelusuri perjalanan jauh, perspektif atau cara pandang kita tentang kehidupan menjadi sama sekali berbeda, seperti mendayung ke hulu, ada kegetiran dan kelelahan yang sangat, berliku, licin, penuh ranjau, belum lagi gravitasi ilusi dari identitas ilusi "AKU" yang menarik-narik ke hilir.
Kesepiannya seringkali mencekam.
Tidak ada batu timbang yang jelas, batas benar, batas salah, batas buruk, batas baik menjadi pola sebab dan akibat yang sudah semestinya terjadi, tidak hanya itu, eksistensi dan koeksistensi hitam dan putih, baik dan buruk, benar dan salah, bak Utara dan Selatan, Timur dan Barat, bukan lagi berlawanan, tapi berkorelasi, meregang, saling menahan dan menopang dalam kehampaan.
Konon Kabarnya seorang Guru Besar pernah menyelamatkan seorang penzinah dari ancaman hukum rajam oleh masyarakat, kata Beliau,
"Silahkan! Barangsiapa diantara kalian yang merasa tidak memiliki dosa, atau tidak pernah berbuat salah, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu!"
Mendengar perkataan itu, seorang demi seorang, mulai dari yang tertua pergi meninggalkan tempat itu.
Kesadaran akan keberadaan identitas ilusi "AKU" menghantarkan cermin diri.
Kesadaran akan keberadaan identitas ilusi "AKU" adalah titik awal perjalanan, akhirnya.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H