Mohon tunggu...
Ulyl Damayanti
Ulyl Damayanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya mahasiswa Universitas Sebelas Maret yang memiliki hobi membaca dan menoton film

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari Karlina untuk Indonesia

2 Maret 2024   18:08 Diperbarui: 2 Maret 2024   18:08 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit hari itu sangat cerah, dengan awan-awan putih yang bergerombol di birunya langit dan bertiupnya angin di udara seakan menambah kesan nyaman bagi seorang gadis yang sedang duduk di sofa ruang tengah itu. Raut wajahnya sangat fokus yang ditandai dengan guratan samar di dahinya. Di tangannya terdapat buku bersampul biru dengan bergambar biota laut. Ia menghela nafas dan tak lama kemudian ia merengut, sepertinya dia sedang kesal.

Gadis bernama Karlina itu baru saja selesai membaca sebuah novel karya Leila S. Chudori yang berjudul Laut Bercerita. Novel yang menceritakan aksi para aktivis mahasiswa yang dianiaya. Setelah membaca novel tersebut ia menjadi paham bahwa pemerintahan dulu sangatlah sensitif, sukar diberi nasihat juga sangat egois.

Karlina mengubah posisi duduknya di sofa, lalu ia mengambil ponselnya yang berada di atas meja. Aplikasi pertama yang ia buka adalah X. Ahhh sepertinya ada berita baru, ia menekan icon berbentuk seperti  lup (kaca pembesar), terdapat kata kemenkeu di trending paling atas. Tidak dapat menahan rasa penasarannya, sehingga ia langsung menekan kata tersebut. Karlina mendesah, lagi-lagi korupsi. Entah harus berapa lama lagi agar Indonesia bebas dari kata korupsi. Sepertinya tidak afdal bagi para pejabat jika tidak terjerat kata korupsi. Keadaan ini mengingatkannya pada lagu yang dibuat oleh seorang musisi terkenal Indonesia, Iwan Fals dengan lagu legendarisnya yaitu tikus-tikus kantor.

Karlina mendesah, lalu tersadar. Ahh kenapa juga ia memikirkan ini, sudah seperti politikus saja. Seharusnya ia berpikir bagaimana cara menyelesaikan tugas dari dosen tadi pagi, bukannya memikirkan isu-isu politik. Jangan-jangan gara-gara matkul kewarganegaraan dan pancasila tadi membuat ia memikirkan masalah negeri lagi.

Tapi sejujurnya Karlina penasaran, apa yang akan terjadi pada Indonesia dalam lima atau sepuluh tahun  kedepan? Apakah korupsi masih ada? Ataukah sudah bersih dalam artian bebas dari korupsi? Atau justru tambah merajalela? Pikiran-pikiran seperti ini masih saja terus menganggunya, pernah terpikirkan olehnya setelah ia lulus kuliah ia akan pergi ke luar negeri. Hidup nyaman di negeri tetangga.

Karlina menyudahi pikiran-pikiran absurdnya, ia berjalan ke depan terasnya. Duduk di samping kolam ikan yang dibuat oleh sang Ayah. Dia menoleh ke kanan. Terdapat pos ronda di samping depan rumahnya. Terdapat sekitar lima orang laki-laki di sana. Sepertinya sedang main kartu atau entahlah, Karlina tidak dapat melihatnya.

Lima orang laki-laki itu adalah tetangganya, tidak tau apa pekerjaannya tapi setiap malam mereka akan berkumpul di pos ronda untuk main kartu atau minum kopi sambil berbincang. Dua orang diantara mereka masih berusia 17 tahun satu diantaranya seusianya dan sisanya mungkin di awal 20-an. Salah satu yang berusia 17 tahun itu sudah tidak bersekolah alias putus sekolah, kata Bunda dia menghamili pacarnya yang satu sekolah dengannya. Satunya sering bolos sekolah karena Bunda sering melihatnya di angkringan mas Jono. Dan sisanya entahlah, Karlina tidak tahu apakah mereka bekerja atau tidak. Tapi yang pasti mereka selalu berada di pos ronda tersebut.

Karlina masuk lagi ke dalam rumahnya, ia melewati ruang tengah dan berhenti di ruang keluarga. Terlihat Ayahnya sedang menonton televisi dengan sebatang rokok yang menyala, tangannya berada di atas meja dengan segelas kopi hitam di sampingnya.

“Berita tersebut menutup jumpa kita pada sore hari ini, saya Roselina Arwana pamit undur diri.” Karlina menatap sang ayah yang masih menonton walau acara berita tersebut sudah berganti menjadi kartun animasi.

“Dek, tadi ada berita pembunuhan di Jogja. Katanya itu ulah klitih,” Ujar Ayah yang sekarang mematikan rokoknya dan meletakkannya di asbak.


“Katanya anggota klitih itu masih pada remaja-remaja, bahkan ada yang belum punya KTP. Ayah gak nyangka aja, anak-anak sekarang kok pergaulannya gitu. Gak tau faktor apa tapi tindakan tersebut tidak boleh ditoleransi, para polisi harus bertindak tegas pada kasus seperti ini,” sambungnya.


Karlina hanya mengiyakan saja, toh bukan urusannya juga. Tapi dipikir-pikir lagi memang anak bangsa makin kesini moralnya makin melemah. Dari masalah kecil sampai masalah besar. Dari anak kecil hingga orang dewasa. Banyak anak kecil yang melakukan pembullyan, bahkan di tingkat sekolah dasar. Tak banyak juga orang dewasa yang menormalisasi tindakan tersebut, katanya masih kecil lah jadi belum tahu apa-apa. Tindakan kecil tersebut akan berakibat besar bila tidak ditangani. Ahh lagi-lagi ia merenungkan nasib negara ini. Seharusnya ia kemarin mengambil FISIP saja bukannya FEB.

“Dek, Ayah Cuma mau adek hidup bahagia. Semoga pemimpin kita selanjutnya akan lebih baik ya. Biar adek enggak kesusahan,” tiba-tiba ayah berbicara.

Ayah mengatakan bahwa ia ingin Karlina hidup di bawah pemimpin yang adil dan bijaksana. Pemerintahan yang demokrasi dengan suara rakyat sendiri. Semua Lembaga berkerja dengan professional sehingga tidak ada tindak kriminal seperti korupsi. Anak bangsa makin kreatif dan mau berkembang, sehingga negara bisa maju.

Lagi-lagi Karlina hanya mengiyakan, susah memang impian sang Ayah tapi itu tidak mustahil bukan? Jujur Karlina juga menginginkan hal yang sama terhadap negara ini. Negara yang sudah ia abdi selama 19 tahun, negara yang ia cintai dengan sepenuh hati, negara yang selalu ia peringati hari kemerdekaannya. Dengan segenap jiwa ia sebagai anak bangsa ingin merubah negara ini ke arah yang lebih baik.

Karlina mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu ia melebarkan matanya. “Astaga,” serunya. Ia berjalan melewati sang ayah dan masuk ke dalam kamarnya. Ia menyalakan ponselnya setelah itu membuka aplikasi WhatsApp. Dia mengirim sebuah chat ke kontak Erlangga—ketua BEM di kampusnya.

Minggu lalu anggota BEM di kampusnya mengadakan rapat, mereka ingin merayakan hari kemerdekaan dengan mengadakan sebuah festival di kampus mereka. Tapi mereka tidak tahu harus mengusung tema apa. Rencananya mereka akan mengadakan rapat lagi yang akan diadakan lusa nanti. Tapi sekarang Karlina si mahasiswa semester dua ini sudah mempunyai ide untuk tema yang akan diangkat pada festival besok. Ia memikirkan tema ‘Jadikan Generasi Bangsa yang Berkarakter, Kreatif, dan Inovatif  untuk Memajukan Indonesia’ dengan visi menjadi tempat anak bangsa agar dapat mengembangkan minat dan bakat dalam arahan positif. Sedangkan misinya adalah menciptakan event-event yang dapat mengembangkan bakat anak bangsa, menumbuhkan semangat nasionalisme, juga menjadi wadah aspirasi para anak bangsa untuk mencapai keinginan mereka.

Karlina memandangi ponselnya dengan gugup. Terlihat tanda centang biru di sana, bertanda orang yang dikirimi pesan sudah membaca pesannya. Apakah sarannya akan ditolak mentah-mentah oleh sang ketua atau sebaliknya? Hanya tuhan dan Erlangga sendiri yang tahu. Saat sedang ingin keluar kamar, suara notifikasi dari ponselnya berbunyi, ada sebuah pesan masuk.

ERLANGGA
Boleh juga, lusa kita diskusikan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun