Mohon tunggu...
Himma Ulya
Himma Ulya Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Azima (Bagian 1)

24 April 2018   14:48 Diperbarui: 24 April 2018   14:52 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Assalamualaikum..

Hai guys, ini pertama kalinya saya menulis cerpen yang saya posting dalam akun Kompasiana.

Dan entah kenapa hati saya tergugah untuk menulis sebuah cerpen bergenre romance. 

Pada episode pertama ini, saya berharap cerpen AZIMA ini layak dibaca dan dapat memberikan manfaat kepada para pembaca yang budiman.

Kemarau datang melukaiku, seperti halnya dia yang telah pergi. Itulah mengapa aku mengatakan seakan dunia telah membenciku. Dia yang aku pikir penolongku, ternyata telah meninggalkanku.

Aku merasa pupus dengan semua harapan yang pernah kumiliki. Dunia sekan menjauhiku kala itu. Itu. Suatu kenyataan pahit yang harus aku tanggung seumur hidupku. Bertubi-tubi ujian-ujian itu seperti menamparku.

Aku kehilangan semuanya. Ini menyakitiku. Batinku terluka, dan aku tidak bisa menjawab segala pertanyaan yang ada dalam pikiranku. Segala tanda tanya yang tidak akan pernah ada jawabannya. Mungkin seringkali Tuhan sudah memberitahuku, tapi aku manusia biasa. Aku hanya bisa menerka. Sekarang aku bisa apa?

-FLASH BACK-

Ramadhan sudah akan berakhir, puasaku pun sangat membanggakan. Tidak ada yang bolong. Itu artinya tidak ada yang perlu aku ganti. Aku mengatakan ramadhanku ini sangat berkah. Pasalnya, aku telah merancang sesuatu. Tidak hanya baju baru, sandal baru atau apapun yang diadatkan dalam lebaran yang apa-apa serba baru. Karena nyatanya, aku juga memiliki pacar baru.

Tuhan mendatangkannya padaku. Sebelumnya, aku dipertemukannya lewat oganisasi yang ada dalam sekolahku. Aku tidak pernah membayangkan, bahwa dialah orang yang aku nanti selama ini. Dia bernama Mahesa. Dia laki-laki biasa, tapi karena kepintarannya dia mampu membuat saya tertegun setiap harinya. Bahwa selain dia pintar, aktif, dia juga pandai bercakap. Mungkin karena itu saya mudah terbujuk rayuannya. Tapi apa daya jika hati saya sudah memilihnya.

Dia tidak tampan, dia juga tidak berasal dari keturunan darah biru atau ruang lingkup pesantren. Dia tidak tinggi, dia juga tidak kaya. Tentunya dia bukanlah pangeran yang ada dalam khayalanku. Namun, dia telah membuatku tertarik dengan kesederhanaanya. Kelembutannya saat bercakap denganku, itu yang saya harapkan dari seorang laki-laki.

Tepat di puasa kedua belas, saya mencoba menyakinkan diri saya untuk bangkit dari masa lalu saya terhadap kekasih saya yang sebelumnya. Bisa dibilang dia pacar ketigaku dan aku berharap dialah yang terakhir. Aku menerima pernyataan cintanya. Hari-hariku telah ceria kembali. Tiba saatnya lebaran, dia berkunjung ke ruamhku. Ini untuk kedua kalinya saya bertemu dengannya setelah beberapa pendekatan yang dia lakukan melalui ponsel. Dia orang jauh, untuk kita menjalani hubungan jarak jauh. Kedua kalinya bertemu, sayangnya bertepatan itu Ayahku sedang sakit.

Setelah kemarinnya berkunjung ke sanak saudara yang ada di jauh, sampai di rumah tiba-tiba bapak menjadi sakit. Hari esoknya pun, seperti lebih menyedihkan. 

Aku kasihan. Tapi sedihku tertutupi karena pacarku akan datang berkunjung ke rumah. Aku tidak bisa membayangkan betapa jauhnya jarak yang harus dia tempuh untuk menemuiku. Aku anggap ini sebagai bentuk perjuangannya. Aku semakin menyukainya, ketika dia sampai ke rumahku. Kita saling berbincang-bincang. 

Untuk pertama kalinya aku bisa melihatnya dengan jelas. Matanya indah, karena bulu matanya begitu lentik. Dan itu membuat dia terlihat sangat manis. Aku sangat menyukainya. Terlebih ketika dia datang dan sebagai penolong Ayahku. Dia dan temannya yang membawa Ayahku ke rumah sakit setempat. Aku cukup khawatir dengan kondisi Ayah. Ternayata Ayah tidak mau diopname. Aku sudah menduganya. Ayah memang bukanlah manusia yang suka denga bau rumah sakit. Tapi dia akan menjadi penolong pertama dan bisa menjadi menyukai obat-obatan ketika anak atau istrinya sedang kesakitan. Itulah Ayahku.

Aku melihat Ayah istirahat di kamarnya, sebelum akhirnya Ayah muntah-muntah di dekat kamar mandi. Walaupun begitu, dia masih bersikeras untuk menjamu dan menemui pacarku. Mungkin Ayahku tidak tahu jika kami telah berpacaran. Aku tidak akan mungkin seberani itu untuk bercerita. Dan Ayah juga sempat memberikan ucapan terima kasih untuk pacarku karena bantuannya itu. Aku sangat senang dengan pertemuan ini. Kemudian dia berpamitan, karena katanya dia harus melanjutkan perjalanannya di beberapa kota untuk temu silahturohminya di beberapa sekolah  lain.

Tiga hari kemudian, Ayah dilarikan ke rumah sakit. Di hari pertama saat di rumah sakit, ternyata Ayah harus dipindahkan ke ruang ICU. Untuk pertama kalinya aku melihat Ayah di sekelilingi dengan beberapa alat kehidupan yang tidak pernah aku membayangkan sebelumnya kehidupan yang seperti ini. Ini lebih mirip sinetron dan seolah akulah lakon utamanya.

Ayah terdiagnosa jantung koroner. Entah penyakit apa itu. Yang jelas aku tidak suka. Aku membenci penyakit itu. Karena atas penyakit itu aku lebih jarang bertemu Ayah. Bahkan bukan hanya aku saja, tapi juga seluruh anak-anak Ayah. Kami sedih meratapi penyakit Ayah. Aku terharu atas perjuangannya untuk bisa sembuh. Semangatnya sangat tinggi, dan itu salah satu alasanku bangga memilikinya.

"My dad my hero" aku mengucapkan pelan di telinganya. Aku takut membangunkannya.

Dokter mengatakan Ayah bisa dipindahkan di ruang biasa. Yeesssss... betapa gembiranya hatiku. Ayah pasti sembuh. Tapi aku salah, esoknya Ayah dipindahkan lagi di ICU. Aku terpukul sekali lagi. Dan aku hanya bisa berharap bahwa Tuhan akan membantunya. Tapi aku salah lagi. Tuhan mempermainkanku. Harusnya aku berbangga hati, karena Ayah dinyatakan sembuh dan besok bisa pulang ke rumah. Tapi nyatanya, Ayah drop lagi. Sangat parah, hingga untuk ketiga kalinya Ayah harus masuk ICU. Aku kecewa berat. Dokter tidak bisa dipercaya. Mungkin dia tidak tahu betapa pentinya arti Ayah untuk kami. Khususnya untukku pribadi. Aku menyayanginya.

Beberapa kali aku harus melihat ibuku menangisi keadaan Ayah. Selama tujuh hari ibu sangat setia dan telaten menjaga Ayah. Aku kasihan pada ibu. Mungkin itu adalah contoh istri sholikhah yang setia terhadap apapun kondisi suaminya. 

Di hari ke delapan, firasatku membenarkan kenyataan yang akan terjadi. Aku dan kami semua harus kehilangan sosok Ayah untuk selama-lamanya. Tepat di malam jum'at, setelah sedetik adzan isya' berkumandang, Ayah menghembuskan nafas terakhir di pangkuan ibu.

Suatu kesalahan telah aku lakukan. Aku terlambat membawa kakak dan adik-adikku menemui Ayah. Ayah terburu menghentikan nafas terakhirnya

"lho Mbak kok menangis?" tanya Diana, adik terkecilku. Aku tidak bisa menjawab apa-apa. Dia mungkin sadar setelah dia melihat ibu, dan kedua kakak perempuanku bersimbah air mata di atas hangatnya kepergian bapak yang sudah ditutupi dengan kapas dan segala macamnya. Tiba-tiba dia ikut menangis. Dan aku jatuh melihat adik-adikku penuh dengan air mata. Walau aku tidak melihat adik-adikku yang laki-laki meneteskan air mata, tapi di dalam hatinya aku tahu mereka berdua terluka pula. Aku sangat sedih.

"Ya Allah, apa yang harus aku lakukan sekarang?" bibirku kelu untuk berkata. Aku tidak setegar itu. Seketika, runtuh segala cita-cita yang telah aku bangun untuk bisa membahagiakan Ayahku. Aku tidak akan pernah bisa melihatnya kembali. Aku kalah. Aku kalah di dalam kehidupanku sendiri. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun