Mohon tunggu...
Himma Ulya
Himma Ulya Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Azima (Bagian 1)

24 April 2018   14:48 Diperbarui: 24 April 2018   14:52 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tepat di puasa kedua belas, saya mencoba menyakinkan diri saya untuk bangkit dari masa lalu saya terhadap kekasih saya yang sebelumnya. Bisa dibilang dia pacar ketigaku dan aku berharap dialah yang terakhir. Aku menerima pernyataan cintanya. Hari-hariku telah ceria kembali. Tiba saatnya lebaran, dia berkunjung ke ruamhku. Ini untuk kedua kalinya saya bertemu dengannya setelah beberapa pendekatan yang dia lakukan melalui ponsel. Dia orang jauh, untuk kita menjalani hubungan jarak jauh. Kedua kalinya bertemu, sayangnya bertepatan itu Ayahku sedang sakit.

Setelah kemarinnya berkunjung ke sanak saudara yang ada di jauh, sampai di rumah tiba-tiba bapak menjadi sakit. Hari esoknya pun, seperti lebih menyedihkan. 

Aku kasihan. Tapi sedihku tertutupi karena pacarku akan datang berkunjung ke rumah. Aku tidak bisa membayangkan betapa jauhnya jarak yang harus dia tempuh untuk menemuiku. Aku anggap ini sebagai bentuk perjuangannya. Aku semakin menyukainya, ketika dia sampai ke rumahku. Kita saling berbincang-bincang. 

Untuk pertama kalinya aku bisa melihatnya dengan jelas. Matanya indah, karena bulu matanya begitu lentik. Dan itu membuat dia terlihat sangat manis. Aku sangat menyukainya. Terlebih ketika dia datang dan sebagai penolong Ayahku. Dia dan temannya yang membawa Ayahku ke rumah sakit setempat. Aku cukup khawatir dengan kondisi Ayah. Ternayata Ayah tidak mau diopname. Aku sudah menduganya. Ayah memang bukanlah manusia yang suka denga bau rumah sakit. Tapi dia akan menjadi penolong pertama dan bisa menjadi menyukai obat-obatan ketika anak atau istrinya sedang kesakitan. Itulah Ayahku.

Aku melihat Ayah istirahat di kamarnya, sebelum akhirnya Ayah muntah-muntah di dekat kamar mandi. Walaupun begitu, dia masih bersikeras untuk menjamu dan menemui pacarku. Mungkin Ayahku tidak tahu jika kami telah berpacaran. Aku tidak akan mungkin seberani itu untuk bercerita. Dan Ayah juga sempat memberikan ucapan terima kasih untuk pacarku karena bantuannya itu. Aku sangat senang dengan pertemuan ini. Kemudian dia berpamitan, karena katanya dia harus melanjutkan perjalanannya di beberapa kota untuk temu silahturohminya di beberapa sekolah  lain.

Tiga hari kemudian, Ayah dilarikan ke rumah sakit. Di hari pertama saat di rumah sakit, ternyata Ayah harus dipindahkan ke ruang ICU. Untuk pertama kalinya aku melihat Ayah di sekelilingi dengan beberapa alat kehidupan yang tidak pernah aku membayangkan sebelumnya kehidupan yang seperti ini. Ini lebih mirip sinetron dan seolah akulah lakon utamanya.

Ayah terdiagnosa jantung koroner. Entah penyakit apa itu. Yang jelas aku tidak suka. Aku membenci penyakit itu. Karena atas penyakit itu aku lebih jarang bertemu Ayah. Bahkan bukan hanya aku saja, tapi juga seluruh anak-anak Ayah. Kami sedih meratapi penyakit Ayah. Aku terharu atas perjuangannya untuk bisa sembuh. Semangatnya sangat tinggi, dan itu salah satu alasanku bangga memilikinya.

"My dad my hero" aku mengucapkan pelan di telinganya. Aku takut membangunkannya.

Dokter mengatakan Ayah bisa dipindahkan di ruang biasa. Yeesssss... betapa gembiranya hatiku. Ayah pasti sembuh. Tapi aku salah, esoknya Ayah dipindahkan lagi di ICU. Aku terpukul sekali lagi. Dan aku hanya bisa berharap bahwa Tuhan akan membantunya. Tapi aku salah lagi. Tuhan mempermainkanku. Harusnya aku berbangga hati, karena Ayah dinyatakan sembuh dan besok bisa pulang ke rumah. Tapi nyatanya, Ayah drop lagi. Sangat parah, hingga untuk ketiga kalinya Ayah harus masuk ICU. Aku kecewa berat. Dokter tidak bisa dipercaya. Mungkin dia tidak tahu betapa pentinya arti Ayah untuk kami. Khususnya untukku pribadi. Aku menyayanginya.

Beberapa kali aku harus melihat ibuku menangisi keadaan Ayah. Selama tujuh hari ibu sangat setia dan telaten menjaga Ayah. Aku kasihan pada ibu. Mungkin itu adalah contoh istri sholikhah yang setia terhadap apapun kondisi suaminya. 

Di hari ke delapan, firasatku membenarkan kenyataan yang akan terjadi. Aku dan kami semua harus kehilangan sosok Ayah untuk selama-lamanya. Tepat di malam jum'at, setelah sedetik adzan isya' berkumandang, Ayah menghembuskan nafas terakhir di pangkuan ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun