Mohon tunggu...
Fatima Ulya S
Fatima Ulya S Mohon Tunggu... -

remaja bercermin pada air. dan bayangannya terbawa riak.

Selanjutnya

Tutup

Money

Pasar

30 September 2017   22:42 Diperbarui: 30 September 2017   22:45 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasar. Sebuah tempat transaksi jual-beli yang paling umum dan ada di segala jenis lks ekonomi.

Apa yang anda ingat saat mendengar pasar? Bisa jadi makna pasar dan gambaran pasar di masa kini sudah mulai bergeser dari bayangan orang-orang. Dulu pasar adalah tempat membeli makanan, tempat berjualan, hingga tempat bergosip ria dengan orang dari desa lain. Sekarang, mungkin beberapa di Antara anda berpikir bahwa pasar itu kotor, becek, banyak makanan murah tapi kurang higienis.

Adanya pasar dengan bentuk yang lebih modern berupa supermarket membuat saya berpikir ulang tentang nasib para petani dan peternak lokal. Pada bulan ramadhan, saya ikut ibu saya membeli ubi dan singkong karena ingin membuat kue. Saat itu siang dan hampir semua pedagang sudah pulang ke rumahnya. Di salah satu sisi pasar, saya bertemu dengan pedagang. Ini sedikit dialog saya dengan pedagangnya.

Pedagang : "Dek, mau beli sekarung pupuk ya?"

Saya : "Nggak, mau seplastik merah gede aja"

Pedagang : "Oh gitu dek, nggak mau sekarung aja? 25000 aja"

Saya : "Nggak, bu... hehehe"

Saat ibunya bilang 25000 saya sempat terkejut. Karena singkong dan ubi sekarung itu penuh dan dihargai 25000 rupiah saja. Lalu bagaimana dengan makan ibu pedagang dan anak-anaknya? Keperluan anak-anaknya sekolah? Saya sangka seplastik merah harganya 10000 dan tahukah anda? Harga seplastik merah itu hanya 5000 rupiah. Itupun ibu saya tidak menawar dan karena ibu saya tidak menawar, pedagang itu malah memberi singkong tambahan. Bahkan pedagang itu memuji ibu saya yang tidak menawar.

5000 rupiah. Jika dikonversikan ke USD, hanya sekitar 0,38 USD. Itu jumlah yang sangat kecil. Dan ini adalah salah satu yang menurut saya membuat Indonesia masih berkembang. Di Supermarket besar di mall kota-kota besar, banyak jualan sayuran dan buah yang harganya jelas berbeda dengan di pasar karena sayur dan buah ini masuk mall. Pertanyaannya adalah : apakah semua petani berkesempatan masuk mall? Tentu saja tidak.

Jujur saya tidak tahu seberapa besar pendapatan petani ini untuk 5000/plastik besar. Tapi sayangnya, jarang saya temukan petani yang sukses sekali. Rata-rata minimal bisa menyekolahkan anaknya. Lalu anaknya jadi petani yang biasa saja dan kejadian itu berulang. Itu hal yang terjadi di kota saya, Pamekasan. Padahal, seperti apa yang dikatakan Pak Dayat (seorang petani di Bandung), semua orang bisa mati tanpa petani. Karena petani menyediakan hidup lewat nasi.

Apresiasi terhadap petani perlu ditingkatkan. Tidak harus lewat supermarket organik di mall, namun bisa juga dengan membantu mempertemukan petani dengan orang yang ingin membeli sayuran organik.

Di samping itu, pada zaman ini sedang popular sayuran organik, tanpa pestisida. Tidak hanya untuk golongan menengah ke atas, saya ingin mengajak para ibu-ibu untuk mengurangi harga tawar. Saya juga bukan dari keluarga yang mampu sekali, namun saya tidak ingin di saat saya mampu, ada orang lain yang menyokong kehidupan orang lain (baca: petani) tidak mampu untuk lebih menyekolahkan anaknya
tinggi. Saya juga masih menawar, namun dalam taraf wajar agar menguntungkan kedua belah pihak.

Lebih utama lagi, pasar lokal harus ditingkatkan karena sektor ekonomi masyarakat berkembang
di sini. Pemerintah kota sebaiknya menselaraskan pasar. Seperti misalnya merapikan letak kios-kios pasar, membangun kembali pasar, dan mempromosikan pasar pada masyarakat luas.

Agar paradigma awal terhadap pasar kembali. Bahwa pasar, bagaimanapun bentuknya, adalah salah satu sarana pembangunan Indonesia di tingkat masyarakat. Sebab semua daerah pasti punya pasar dan karakter orang dapat ditentukan pula dari pasarnya.

30 September 2017, 22:16

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun