Indonesia merupakan Negara yang berlandaskan pada asas kepancasilaan. Memperoleh kemerdekaan, bersatu, berdaulat adil dan makmur guna mencapai kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan  pada kemerdekaan , perdamaian abadi dan keadilan sosial merupakan  cita-cita bangsa Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Untuk mencapai cita-cita tersebut, maka dibentuklah Lembaga pemerintah yang terdiri dari Lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Pembentukan Lembaga pemerintah tentu menjadi harapan bangsa Indonesia agar mampu menegakkan keadilan serta memperoleh kemajuan dalam segala aspek dan bidang. Namun, tidak bisa dipungkiri jika kata " Pemerintah " tidak pernah luput dari istilah penyelewengan-penyelewengan guna mencapai kepentingan pribadi seperti korupsi.
Dari sudut pandang perpolitikan, Korupsi diartikan sebagai penyalahgunaan jabatan, administrasi, ekonomi dan politik baik yang disebabkan oleh diri sendiri maupun orang lain guna memperoleh keuntungan pribadi sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat umum, perusahaan atau pribadi lainnya.
Korupsi yang dilakukan oleh oknum pemerintah tentu menjadi problematika besar yang harus dilewati bangsa Indonesia untuk mencapai kemajuan dan keadilan bersama. Sehingga pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi dijadikan harapan dan tonggak utama dalam memberantas korupsi serta mengenyah para koruptor dari Indonesia.
KPK merupakan suatu Lembaga yang bergerak secara independen dan tidak terkait dengan lembaga kekuasaan mana pun, Sehingga KPK memiliki kebebasan dalam menjalankan tugasnya. Hal ini dibuktikan dengan catatan keberhasilan Lembaga KPK dalam memberantas dan memenjarakan tikus-tikus berdasi yang memegang jabatan di Indonesia. Tercatat pasca reformasi tahun 1998 sampai akhir 2018, KPK telah diakui sebagai estafet pemberantasan korupsi Indonesia.
Berdasarkan data rekapitulasi yang tercantum di portal Anti Corruption Clearing House (ACCH), keberhasilan KPK dalam menangani kasus tindak pidana korupsi dibuktikan dengan berlangsungnya penyelidikan sebesar 1.135 perkara, penyidikan 887 perkara, penuntutan 719 perkara, inkracht 578 perkara dan eksekusi 610 perkara.
Hal tersebut tentu membuat KPK berhasil menyelamatkan uang negara hingga triliunan rupiah besarnya. Namun bukannya apresiasi yang didapat atas keberhasilannya, kinerja KPK terus dilemahkan bahkan dimutilasi secara terus menerus.
Terhitung sejak tahun 2010, keberhasilan KPK dilemahkan dengan lahirnya mekanisme atau proses legislasi yang dilakukan dengan cara merevisi Undang - Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tak berhenti di situ saja, upaya melemahkan KPK terus dilakukan oleh para penguasa guna memboikot wewenang KPK dalam memberantas korupsi dengan dalih menguatkan keputusan dan kebijakan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melakukan revisi terhadap peraturan perundang - undangan.
Anggota DPR terlihat sangat kompak, bahu-membahu dalam mengadakan rapat paripurna dengan tujuan memutilasi KPK. Mulai dari KPK yang tidak lagi bekerja secara independen dalam melakukan penyelidikan yang mana aparatur Negara seperti polisi dan kejaksaan juga ikut andil dalam proses penyelidikan terhadap benih-benih koruptor, kedudukan, wewenang serta penyidikan yang dibatasi, dan lain-lain.
Dengan dicetusnya revisi perundang-undangan KPK, masih layakkah Dewan Perwakilan Rakyat disebut sebagai slah satu pilar trias politika yang mementingkan aspirasi serta kebutuhan publik, atau justru lebih layak disebut sebagai trias "koruptika" yang hanya memperkaya diri sendiri?