Di grup facebook, penulis sering kali menemui orang yang dengan enteng memposting "kematian sudah lebih dari beribu-ribu!! Harus LOCKDOWN!!!" sembari menunjukkan angka jumlah kematian yang "memang" beribu-ribu ini. Tapi menurut penulis hal ini adalah sebuah kecerobohan. Selain menimbulkan kepanikan tak berarti, argumen "sudah beribu-ribu" ini juga kurang bisa dipertahankan, karena ia berdiri sendiri tanpa konteks pembanding.
Pertama mari kita lihat data korban COVID-19 ini,
Global
Negara
216
Terkonfirmasi
5.370.375
Meninggal
344.454
Update Terakhir: 26-05-2020 | Sumber: WHO
Indonesia
Positif
23.165
Sembuh
5.877
Meninggal
1.418
Update Terakhir: 26-05-2020
sumber: https://covid19.go.id
Angkanya besar? Untuk mempertimbangkan apakah angka ini besar atau tidak, diperlukan sebuah data pembanding. Karena itu penulis mengajak untuk melihat angka kematian karena berbagai faktor tahun 2017,
penyakit kardiovaskuler 17,79 juta
kangker 9,56 juta
diabetes 1,37 juta
kecelakan di jalan 1,24 juta
dan masih banyak yang lain
https://ourworldindata.org/causes-of-death
Bagaimana dengan angka global pandemi ini? Kematian sudah hampir 345 ribu, katakanlah ia sudah berjalan 4 bulan (per 26 Mei, tanggal artikel ditulis), maka cukup dikalikan 3 supaya genap 1 tahun. Hasilnya sedikit lebih dari 1 juta. Jika dibandingkan masih banyak faktor kematian lain, seperti angka kematian karena kecelakaan di jalanan (1,24 juta), yang perlu lebih diperhatikan jika kita hanya melihat angka resmi kematian global.
Lalu ada yang menyanggah,
"Tapi kan ada kasus yang tidak terdeteksi!!"Â
Ok untuk menjawab ini, kita membutuhkan IFR (infected fatality rate) atau tingkat kematian terinfeksi. Di artikel sebelumnya penulis sudah membahas sedikit tentang perbedaan IFR dan CFR. Data ini tidak bisa diperoleh sembarangan, hanya beberapa set data yang bisa dipakai sebagai rujukan. Data-data tersebut merupakan data randomized testing over representative sample (RTRS), uji acak terhadap sampel representatif, kita sebut in RTRS untuk singkatnya. Beberapa data tersebut adalah,Â
- RTRS di Slovenia, IFR sekitar 0,15%.
Perhitungan: (99 kasus kematian angka worldometers per 7 mei)/(66000 terinfeksi dari RTRS) = 0,15% - RTRS di Geneva, Swiss, IFR sekitar 0,28%.
Perhitungan: (1800 kasus kematian per 1 mei)/(7,4% seroprevalence x 8,57 juta populasi) = 0,28% - RTRS di Jerman, IFR sekitar 0,37%.
Perhitungan: 0,37% klaim di paper.
Jadi tingkat kematian IFR dari data-data RTRS tersebut ada di bawah 0,5%. Terdapat banyak data set lain yang menguatkan  IFR < 1% tapi karena tidak representatif tidak penulis cantumkan. Sedangkan data CFR sangat bias terhadap kasus kematian karena besar proporsi populasi yang asimtomatik (setengah atau lebih terinfeksi adalah asimtomatik).
Dalam kalimat lain, kasus parah dan simtomatik adalah kasus yang cenderung untuk terdeteksi, kasus asimtomatik sulit untuk terdeteksi kecuali jika dilakukan uji acak seperti data-data di atas. Jadi terdapat bukti-bukti cukup kuat yang menyatakan nilai IFR < 0,5%.
Sekarang kita cari data pembanding, tingkat kematian karena flu musiman adalah sekitar 0,1% (data Amerika Serikat). Jadi penyakit COVID-19 ini sedikit lebih berbahaya dari flu (sekitar 5 kali atau kurang). Jadi masih banyak faktor penyebab kematian lain yang seharusnya lebih diperhatikan, misalnya karena kelaparan akut alias kemiskinan yang angkanya di Indonesia 22 juta.
Ambil-lah tingkat kematian 1% (ini sepertinya overestimate), paling banyak 3 juta orang Indonesia meninggal karena virus. Estimasi ini cocok dengan estimasi tim riset gabungan dari beberapa universitas unggulan nasional dan dunia yang mengatakan potensi hingga 2,6 juta meninggal karena COVID-19 di Indonesia jika tak ada intervensi apapun.
3 juta (paling banyak tanpa intevensi) meninggal karena virus, orang kehilangan pekerjaan atau pendapatannya turun hingga tidak bisa menyokong kehidupan angkanya bisa jauh lebih banyak (74 juta pekerja sektor informal).
Angka di-PHK 15 juta, ini hampir sebulan lalu, sekarang berapa? Dari mereka berapa orang yang mereka sokong penghidupannya? Memberi makan anggota keluarga berapa? Berapa mereka yang kelaparan tidak bisa makan?
Banyak juga sudah terjadi kisah-kisah pilu karena lockdown berlebihan: kekacauan di India; polisi izinkan warga pulang kampung karena miris bisa tidak makan; nekat pulang kampung jalan kaki seperti di India; jual blender karena sudah tidak ada uang buat makan; dan tentu masih akan ada banyak lagi jika benar-benar mau mengorbankan ekonomi (baca: nyawa) demi pencitraan.
Lalu ada yang berkata,
"Apakah kalian tidak kasihan dengan tim medis?"
Kami tahu, tim medis ada yang bekerja keras karena overcapacity di RS, tapi sekarang pertanyaannya dibalik,
"Apakah kalian tidak kasihan dengan orang yang di-PHK dan kelaparan? Haruskah kami jual ginjal?"
Maaf, jujur menurut penulis #stayathome bukanlah sebuah solusi. Efeknya terlalu besar terhadap kehidupan orang banyak. Ini bukan masalah peduli atau tidak peduli. Tapi yang sering dilupakan oleh para aktivis yang hidupnya sudah berkecukupan adalah, ekonomi bukan sebatas angka di excel. Ekonomi menyangkut pula hajat hidup orang banyak. Jadi pertanyaannya bukan nyawa vs ekonomi, tapi nyawa vs nyawa.
Para dokter mungkin perlu bekerja keras karena ada overcapacity pasien, tapi rakyat jelata juga perlu bekerja keras memutar otak bagaimana supaya besok bisa makan.
Dari sini penulis berkesimpulan, lebih baik PSBB dihentikan, ganti dengan protokol kesehatan seperti penggunaan masker dan menjaga jarak antara orang yang bukan tinggal satu rumah. PSBB secara efektif mirip dengan lockdown/karantina total, terutama di tempat-tempat yang secara berlebihan menerapkannya. Perbedaannya, pemerintah tidak memiliki kewajiban untuk menanggung kehidupan warganya. Dalam bahasa lain, hal yang sudah terjadi adalah PSBB rasa lockdown.
"Berarti harus herd immunity?" Penulis tidak mengatakan herd immunity, malahan ini bukan herd immunity. Untuk kebijakan yang cocok dengan situasi di Indonesia (malahan mungkin di dunia), penulis merujuk pada kebijakan Swedia.
Terdapat beberapa kesalah-pahaman mengenai kebijakan Swedia yang beredar di media-media. Tapi karena artikel ini sudah terlampau panjang, penulis arahkan para pembaca ke jawaban Gavin Kanowitz di quora.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H