Mohon tunggu...
Uluk Suharsi Putra
Uluk Suharsi Putra Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Mencoba untuk sebisa mungkin menulis, berkata dan melakukan apa yang tersimpan di hati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gemuruh, Lawan Lamanya

11 Mei 2017   17:11 Diperbarui: 11 Mei 2017   17:23 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam melarut. Perlahan sayup suara kendaraan pun melebur dengan heningnya. Tidak banyak hal yang bisa digambarkan oleh panca indera saat itu. Tidak banyak suara yang bisa mengalihkan perhatiannya. Hanya gemuruh. Kegaduhan yang sangat ingin dia cari penyebabnya. Aliran dengungan yang terus mengikuti dia. Dalam sepinya. Dalam ramainya. Kantor. Mobil. Motor. Apartemen. Kantin. Mall. Kamar tidur. Bahkan ketika dia harus buang air kecil pun berkas suara itu enggan pulang. Mencoba untuk dia bayangkan, jenis suara ini jauh lebih mengganggu dari suara musik yang diputar di klub malam yang sering dia datangi. Terpaksa. Jauh lebih mengganggu dari suara pekerja jalan raya di depan apartemennya. Bahkan jauh lebih menyebalkan dari lantangnya atasan di kantor, ketika target bulanan berlayar bebas dari genggaman. Apa ini? Suara ini? Dia memutuskan untuk memanggilnya Gemuruh.

Gemuruh itu mungkin lebih seperti riuh, rendah perbincangan antara dua orang. Dengan jarak yang terasa cukup jauh jangkauan dari pendengarannya. Tapi mengganggu. Gemuruh yang terus mendebat dan memaksanya untuk memihak. Menggiring dia untuk memutuskan, konsisten dengan pilihan. Gemuruh. Bercampur dengan ragu dan godaan yang bermunculan. Terus mengganggu. Hingga malam terasa lepas begitu saja. Dengan tatapan kosong yang terus terpahat di wajahnya. Gemuruh. Lawan tak diharapkan seorang pengelana yang memilih sendiri, untuk sementara waktu ini.

Jakarta, beberapa jam kemudian. Sekian juta kedipan mata hingga akhirnya terkatup.

Gemuruh mulai lelah akibat pil. Sedative agent. Dosis yang dia modifikasi sendiri. Hanya untuk membuat Gemuruh lelah menggoda, tidak sampai mengusirnya. Cukup untuk saling melepaskan satu sama lain. Sendiri. Tak sadarkan diri. Cukup untuk membuat dirinya yakin, raganya masih dia kuasai. Bukan Gemuruh.

Jakarta, setelah secangkir kopi, sarapan, dan guyuran air hangat.

Baru kali ini Gemuruh belum kembali. Setelah beberapa jam sadar, terbangun dan setelah rangkaian yang dia lakukan. Tak biasanya. Gemuruh biasa kembali paling lama dua jam setelah dia tersadar. Bahkan terkadang Gemuruh menemani dia minum kopi, membasuh badannya ketika mandi dan juga memasangkan sepatunya. Tapi sekarang mana? Mungkin Gemuruh mulai bosan untuk mengganggunya. Sama seperti dia juga sudah sangat bosan, lelah terganggu. Mungkin Gemuruh tersesat di salah satu jalan dalam pikirannya, yang akhirnya terdampar dan mati. Atau mungkin Gemuruh berpindah dan mengganggu lain raga? Dia melangkah. Cukup lega. Gemuruh, lawan tak diundang masih membiarkan dia sendiri. Dia bebas menguasai raga ini untuk beberapa lama. Tanpa pil.

Di bibir balkon dengan lapangnya pemandangan kota. Hangat matahari pagi, menyembur dan membiaskan keindahan pagi itu. Terasa tenang. Satu lagi kemewahan yang langka dia rasakan. Memeluk dia perlahan, menyentuh, mengusap. Menyenangkan. Angin berdesir meliuk di antara tengkuknya, rambutnya tersingkap halus. Tuhan...terima kasih. Lirihnya. Terima kasih untuk pagi ini. Tanpa Gemuruh. Sendiri tapi tak menyedihkan. Ini lebih baik. Tangan. Bahu. Semua merasakan lembutnya liukan angin. Memang tidak terlalu lama dia terlelap, hanya saja ini lebih dari cukup.

Dia ingat pertama kali Gemuruh mulai mendatanginya. Mulai berman-main dengan hidupnya. Gemuruh hadir disaat sepi karena pilihan yang dia ambil. Pilihan untuk melepaskan cinta lamanya. Melepaskan dalam haru dan sesak perasaan. Pilihan terpaksa yang dia ambil, yang membuat dia melawan arus perasaannya sendiri. Bukan semesta dan seisinya. Arus yang begitu kuat. Arus yang sekian lama membuat dia terhanyut dan terus berputar dalam siklus yang dia sendiri yakin, itu tidak akan berakhir. Tak berujung. Yang sering kali membuat dia bertanya, adakah ini berguna?

Dia tahu dan sadar betul kenapa dia merelakan dirinya terhanyut untuk sekian lama. Cinta. Mungkin itu istilahnya. Mungkin juga bukan salah cinta ketika dia hanyut. Hanya untuk beberapa orang, seperti dia, masih perlu waktu belajar untuk memilih dan menempatkannya. Perasaan yang tidak begitu saja tumbuh dan mengembang. Rasa yang sekian lama dia tolak dengan berbagai macam alasan, dia tolak tanpa jeda. Meski cinta itu terlihat dan terasa menyenangkan. Dia tidak mau itu, karena jika iya, terlalu banyak hal yang harus dia korbankan. Terlalu banyak konsekuensi dari itu. Terlalu banyak hukum alam yang harus dia lawan. Bahkan mungkin dia harus mulai berjalan mundur jika dia memilih membiarkan itu bersemi.

Namun, lemah dan rapuhnya dia. Penolakan – penolakan itu menguap. Dia menyerah. Bukan. Mungkin lebih tepatnya memilih. Jiwa muda dan sepinya membuat dia seolah tegar dan siap. Untuk melawan. Berjalan tidak searah. Dia terjun bebas. Merasa tak akan kalah melawan semesta dan seisinya. Karena dengan cinta itu dia merasa lengkap. Merasa sudah menemukan sosok peran yang dia cari selama ini, dalam kelam dan sepinya. Itu bukan bohong. Cinta itu membuat dia selalu ramai, tertawa, tersipu, memiliki angan, tetap memiliki harapan, dan merasa biru disaat bersamaan. Dia hanya berpikir, saat itu, cinta memiliki arti dan pemahaman yang luas. Hadiah dari Tuhan, yang tidak ada satu pun perjanjian dengan-Nya kemana harus dia titipkan.

Hari itu, Gemuruh kembali setelah hari merangkak naik. Tak terlalu lama. Karena disaat yang sama dia memilih untuk lebih keras melawan. Separuh dosis saja. Dia harus mengandalkan tenaganya sendiri untuk melawan. Tak mungkin dia menggantungkan seluruh dan sepanjang hidupnya bergantung pada pil. Gemuruh kalah dan menyingkir. Memberikan dia pengajaran. Karena dia mulai mengerti jurus-jurusnya. Tahu dengan apa dia harus memukul mundur Gemuruh. Seiring waktu.

Masa

Berlalu dengan begitu banyak pertempuran

Peluh, resah dan rasa tidak percaya

Dia menolak kembali dalam aliran, putaran

Yang bisa menjebak dan mengurung dia untuk beberapa lama

Memaku dia dalam ragu dan pertanyaan

Kini, puluhan masa berlari

Dia tidak sendiri

Akhirnya dia menemukan apa yang membuatnya bisa kembali bahagia

Bagaimana dia seharusnya mengartikan cinta

Dimana dia harus dan bisa menempatkan sebagaimana mestinya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun