"Ul, janganlah terlalu dipikirkan kenapa Tampek makan Bungo Tanjuang tu tak ada. Selepas ini kan kau bisa lihat danau dari Resort mewah diatas bukit sana. ada kopi hitam pula yang bisa kau nikmati. Sekarang Alahan Panjang sudah maju Ul,  zaman dahulu Bungo Tanjuang sudah lewatlah itu" celotehan temanku seperti tidak berujung menceritakan betapa Alahan Panjang sekarang sudah jauh berbeda. "Alahan panjang sekarang lebih modern Ul, diresort itu nanti kau akan lihat betapa modernnya fasilitas disana, menikmati malam dari camping area". kecek (ucapan) temanku samar tak kudengar lagi dalam riuh deru sesaknya rindu  yang aku tau tak akan bisa kujumpai lagi. Bagiku tiap sudut kenangan masa lalu itulah yang ingin aku temui kembali, dimana buah markisa masih bergelantungan, aku duduk didepan tungku perapian singgang menunggu singgang matang, diiringi celoteh riang anak2 penjaja singgang di tampek makan Bungo Tanjuang. Menikmati singgang sambil menatap danau, menyaksikan senja meluncur ditelan ujung danau dan menghadirkan kembali semua kenangan yang pernah ada disini, dari mereka yang tidak akan pernah bisa kembali lagi.Â
Alahan panjang, saat ini keindahanmu makin terpancar, terekspos. Kecantikanmu memancing semua oran. Berbagai sektor menghampirimu. Mungkin aku terlalu egois untuk berharap keindahan, rekaman masa lalu yang kumiliki tersebut masih ada dan masih bisa kunikmati dalam hebatnya gerusan roda teknologi dan industri saat ini. Ah, terlalu naif memang untuk tetap berharap Potret Alahan panjang dahulu kala dengan warna oranye markisa dan ungu terong papirus, celoteh bocah penjaja makanan dengan semburat pink pipi mereka tetap berada disini. Biarlah lukisan lama itu akan selalu aku simpan dan hadirkan dalam imagiku tiap aku kembali ke Alahan Panjang dalam secangkir kopi panas ditengah dinginnya pinggir danau kembar ini, akan kuurai semua memori satu persatu sambil menyusut sisa genangan air mata yang selalu hadir mengiringi kenangan ini.Â
Cangkir kopi hitamku telah kosong. tak akan pernah cukup kata untuk menumpahkan semua rindu yang selalu ada ini. biarlah rindu dalam sendu ini kugamit sendiri. Disini, dikota pesisir ini, matahari masih enggan meredup. kulirik temperature di layar telpon genggamku, masih 34'C.  Kuambil tissu  dan kuseka kembali sisa genangan dimataku, sebelum aku beranjak keluar dari kedai kopi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H