Beberapa anak tunjuk tangan, namun Nella menoleh ke belakang dan tersenyum pahit pada Neneknya.
"Siapa di sini yang Mamanya datang?" Seru Kakak sekolah minggu lagi.
Lagi-lagi Nella tak bisa mengacungkan telunjuk untuk mengakui yang tidak ada. Nella menoleh lagi ke belakang tersenyum pahit pada Neneknya. Neneknya melambaikan tangan memberi semangat pada Nella.
Acara pun dimulai dan berjalan kurang khidmat, maklum acaranya anak-anak yang terkadang rusuh. Beberapa anak kecil ada yang tertawa, beberapa lagi sibuk dengan penampilan mereka nantinya. Tapi Nella hanya termenung dan membayangkan natal tahun lalu yang masih sempat dia rasakan bersama orang tua terkasih, namun beberapa hari setelah natal semua berubah. Tak terasa airmata jatuh ke pipi satu demi satu.
Acara natal selesai, Nella berjalan gontai menemui Neneknya yang menunggu di belakang sedari tadi.
"Penampilan kamu tadi bagus, Nell" seru Nenek sambil mencium rambut Nella. Nella menghela napas, "Makasih, Nek"
Sesampai di rumah, Nella langsung masuk ke kamar dan menangis sejadi-jadinya. Dia marah dengan kenyataan yang diperhadapkan padanya. Seperti natal bukan lagi miliknya. Berkali-kali dia menghapus airmata yang tak kunjung kering. Dia rindu akan Papa Mama yang berbohong bahwa santa claus akan datang diam-diam dan menaruh hadiah di bawah pohon natal. Dia rindu kenangan natal bersama orangtua.
"Kenapa kau bersedih? Bukankah ini natal?" Nenek tiba-tiba saja sudah berdiri di pintu. Nella segera mengusap airmatanya, lalu menggeleng lemah.
"Tidak, Nenek. Aku hanya ingat Mama dan Papa." Jawab Nella lemah.
"Kau masih punya aku, Cucuku..." Kata Nenek dan duduk di tepi tempat tidur Nella, tangannya yang keriput mengelus punggung Nella.
"Tapi Joel, Rebecca, Nathan dan semua teman sekolah mingguku merayakan natal dengan orang tuanya... Kenapa aku tidak? Kenapa Tuhan tidak membagikan kebahagiaan itu secara adil, Nek?" tangisnya kemudian di meletakkan kepalanya di pangkuan Nenek.