Samar-samar kulihat langit warna oranye mengeluarkan cahaya yang menelusup masuk ke dalam kamar melalui jendela kayu yang terbuka. Cahaya sendu itu menerpa gaun pengantin yang batal kupakai beberapa hari yang lalu. Langit warna oranye tak henti-hentinya memamerkan warna sendunya, membuat aku kembali tenggelam pada kisah kelam.
Langit warna oranye selalu menggairahkanku. Menggairahkanku untuk menangis lebih kencang, menyerah lebih cepat, dan memaki lebih bengis. Semua itu kutujukan pada kenyataan hidupku.
Kau ingat tentang bunga dan cincin sederhana yang kau bawa pada saat melamar aku di bawah langit oranye. Aku bahagia, sayang. Kau buat aku dan keluarga besarku menangis terharu.
Kau ingat tentang kisah yang hampir terukir tegas di bawah langit oranye. Kita bersama mengurus undangan pernikahan kita di percetakan. Kita bersama mencari penjahit handal untuk pakaian pengantin terbaik kita. Kita bersama latihan bernyanyi untuk persembahan kita di pesta bahagia kita.
Ya. Kau pasti ingat kisah manis yang terukir di bawah langit oranye.
Tapi, mungkin kau lupa, kalau berbohong itu akan jadi akar kehancuran segala cita-cita kita.Â
Kau berbohong! Berbohong di bawah langit oranye saat kau mentraktirku makan martabak kesukaanku. Kau segera pergi, kau bilang, mamamu ingin ditemani ke rumah sakit. Aku percaya saja.
Tapi sayang... Oh, sayang... Izinkan aku untuk membencimu atas kebohonganmu ini. Setan! Ya, kau benar-benar setan.
Ternyata sekotak martabak itu adalah akhir dari perjalanan cinta kita. Kau pergi untuk selamanya, dengan segala kebohongan yang akhirnya terkuak.
Orang-orang bilang, kau ditemukan sekarat setelah ditabrak sebuah mobil tepat saat langit berwarna oranye. Kau berlumur darah, tapi bukan seluruhnya darahmu, sebagian darah itu berasal dari sekantung darah yang baru saja kau ambil dari PMI untuk pertolongan pertama kekasih gelapmu yang tengah kritis kehabisan darah di kamar bersalin setelah melahirkan hasil hubungan gelap kalian.
Kau jahat! Bukan saja aku kehilangan dirimu, melainkan aku  harus kehilangan kepercayaan yang sudah kubangun begitu kokoh.
Maaf, sayang. Aku tak hadir pada pemakamanmu yang mengerikan itu. Bukan hanya karena langit oranye enggan mengeluarkan cahaya indahnya, tapi karena mendua adalah aib yang begitu kejam bagiku. Kau jahat.
Kali ini langit warna oranye begitu cepat menarik cahaya sendunya. Gelap segera menyeringai, aku segera menutup jendelaku. Seketika gaun pengantinku itu mulai berkurang keindahannya. Aku baru ingat, ternyata hari ini tepat seminggu kau pergi dengan kebohongan besarmu itu. Maaf, aku tak akan mampir ke kuburmu. Aku lebih memilih menenangkan diri di atas kasurku.
Kuusap airmataku yang tak berarti apa-apa. Aku sadar membencimu sama saja aku membenci langit warna oranye, karena pada saat kau melamar aku, langit sedang berwarna oranye. Serba salah jadinya.
Atau, mungkinkah aku tidak berjodoh pada langit oranye yang selalu aku agung-agungkan itu. Entahlah.
Â
Saco, 24 Maret 2016
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H