Beberapa minggu kemudian Sondang sudah melakukan aktifitas seperti biasa di perkotaan Medan. Hari-harinya yang sibuk pun semakin sibuk karena mempersiapka pernikahannya yang bisa dihitung hari. Sondang dan keluarganya sangat bahagia atas lamaran Togar yang memang Togar adalah orang yang diidam-idamkan Mamaknya untuk jadi menantu.
Terik mentari membakar kulitnya saat dia harus melangkah pulang ke rumah sehabis dari kantor. Di rumah dia disambut Mamaknya yang duduk termenung.
"Kenapa, Mak?" Tanya Sondang sambil mengerutkan keningnya.
"Kok perasaan Mamak tidak enak yah?" Wajah Mamaknya seperti menyimpan se-ton beban.
"Ah, sudahlah Mak. Jangan fikir macam-macam." Sondang menepuk pundak Mamaknya sambil masuk ke kamar untuk ganti baju.
Malam harinya, Sondang dan Mamaknya baru saja pulang berjalan-jalan. Itu dilakukan Sondang untuk menyenangkan hati Mamaknya yang sedang galau. Mereka sudah disambut Togar yang berdiri di teras rumahnya.
"Masuk ke rumah, yuk!" Kata Sondang. Tetapi Togar menggeleng dan mengisyaratkan untuk tetap di teras saja. Mamaknya masuk duluan.
"Ada apa?" Tanya Sondang karena melihat seperti ada hal yang serius ingin disampaikan.
"Maaf..." Kata Togar pelan.
"Maaf kenapa?" Wajah Sondang seperti ketakutan dan berusaha mengikuti gerakan wajah Togar yang menunduk. Sondang menunggu jawaban tetapi Togar dia membisu. "Hei!" Sondang mengguncang-guncang tubuh Togar. Habis usaha Sondang memaksa Togar bicara sampai Sondang bersimpuh di bawah kaki Togar. Sondang menutupi wajahnya yang menangis.
"Kumohon bicaralah! Aku takut sekali." Tangis Sondang pelan agar tidak kedengaran Mamaknya di rumah.