Mohon tunggu...
Uli Elysabet Pardede
Uli Elysabet Pardede Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Inspirasiku dalam menulis adalah lagu indah, orang yang keren perjuangannya, ketakutanku dan hal-hal remeh-temeh yang mungkin saja bisa dibesarkan atau dipentingkan… Tuing! blog : truepardede.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Bahasa Alay: Untuk Pergaulan Atau Konsep Diri?

6 Januari 2012   18:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:14 2960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_161841" align="aligncenter" width="320" caption="Image - beritaterkini.asia"]

1325870522533939505
1325870522533939505
[/caption]

Jangan anda fikir bahwa screenshoot di atas adalah sebuah kode rahasia. Hehehe... Tidak sama sekali, gambar di atas adalah curhatan Tifatul Sembiring di twitter dan bahkan dulu itu sudah menjadi trending topic. Kalau teladan seperti Bapak Tifatul Sembiring saja sudah ikut-ikutan menggunakan bahasa alay. Bagaimana dengan yang lain? Orang Indonesia khan cenderung meniru.

Bahasa gaul/bahasa alay/bahasa bencong adalah bahasa pergaulan namun yang jadi pertanyaan. Bila bahasa-bahasa ini dijadikan konsep diri???

Menurut Wikipedia, Konsep diri adalah penggolongan karakteristik sifat pribadi, karakteristik sifat sosial dan peran sosial pandangan kita kepada diri kita sendiri.  Ditambah lagi bahwa konsep diri berkaitan erat dengan pengetahuan yang kita miliki.

Jadi apabila bahasa-bahasa unik ini tidak hanya dilakukan untuk pergaulan saja tetapi sudah mendarah daging. Maksud saya disini mendarah daging adalah ingatan mereka pada bahasa alay lebih dominan dibandingkan bahasa Indonesia. Maka siap-siaplah bahasa Indonesia tergeserkan baik secara lisan maupun tulisan. Saya jadi ingat dulu sewaktu SMP saya belajar Aksara Bahasa Batak. Seperti kata-kata sandi yang jelas berbeda dengan bahasa Indonesia.

Dengan bahasa Alay ini apakah itu disebut sebagai pengantar kita ke dunia modernisasi? Atau kembalinya kita ke jaman dahulu seperti menggunakan aksara-aksara jadul. Apapun itu tetapi kita seharusnya lebih mencintai bahasa ibu kita yaitu bahasa Indonesia yang menjadi pemersatu kita. Masakkan kita membiarkan bahasa alay, bahasa yang ketus dan sepele baik dalam tulisan maupun lisan menggerus bahasa Indonesia yang sudah lebih dulu menjadi cerminan bangsa ini.

Cintailah bahasa Indonesia, setidaknya bahasa daerahnya. Menggambarkan bahwa tidak lupa akan negara dan kampung kelahiran. Jangan menggunakan bahasa yang belum diresmikan. Tetapi pada kesimpulannya, hal ini semua  tergantung pada pribadi masing-masing. Semoga ada jalan untuk lolos dari fenomena ini suatu saat.

Terimakasih sudah membaca...!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun