Mohon tunggu...
Uli Elysabet Pardede
Uli Elysabet Pardede Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Inspirasiku dalam menulis adalah lagu indah, orang yang keren perjuangannya, ketakutanku dan hal-hal remeh-temeh yang mungkin saja bisa dibesarkan atau dipentingkan… Tuing! blog : truepardede.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menemanimu Menanti Mati

6 September 2011   18:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:11 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ku rapihkan rambutmu anakku sayang. Karena aku tahu kau takkan mampu mengangkat tanganmu lalu mengelus-elusnya. Ku ciumi kau sampai kau merasa sudah tidak suka. Tidak terasa airmata membasahi pipiku. Kau diam saja memandangiku, dan aku tahu kau tak bisa jelas memandang aku karena pengelihatanmu cukup kabur. Bibirmu mengatakan sesuatu tetapi aku tak mengerti kau bicara apa.

Kenapa penyakit itu terlalu cepat mengrogotimu? Baru beberapa bulan yang lalu kau tak bisa lagi berjalan. Dilanjut lagi kau sudah tidak bisa melihat. Dan yang terakhir kau tak bisa mendengar. Yang aku lihat dirimu sekarang tak mampu apa-apa. Kau bagai mayat hidup di atas kasur lusuh ini.

“Kak…?”

Kau diam saja tetapi memandangi aku. Aku kembali lagi menangis, aku lihat jemarimu seperti ingin menggapai aku , namun apa? Kau tak mampu. Sampai harus aku yang mengangkat tanganmu mendekat pada pipiku. Puas nak? Rasakanlah pipi Ibumu ini yang mulai menua. Kak, Ibu rindu kamu! Kak, beberapa minggu yang lalu kau masih mampu berkata-kata padaku mengenai cita-citamu.

“Bu….. Pooo….pokoknnyyaaa…. ka…kakaaak… mauu….jadiiiii…… do…doo…kter…..” Kata-katamu terbata.

Sekarang apa? Kau tak mampu apa-apa. Penyakitmu mematikan pergerakanmu, kau kehilangan kendali atas fungsi tubuhmu. Penyakitmu pun mematikan pengharapanku. Pengharapanku yang dimulai sejak aku tahu bahwa kau akan hadir ke dunia ini. Semua karena Ataksia! Ataksia penyakitmu!

Kak, lihat Bapakmu di sana. Dia berlelah-lelah untuk kita. Tabungan yang dulu ingin dia buatkan rumah sekarang lenyap untukmu, Kak. Dia tak mengeluh dan memang sama sekali tidak. Dia selalu menciumi aku dan kau di malamnya. Tanpa ada kesal sedikit pun. Semua dia lakukan untuk kita, kak. Sekarang pun dia sudah bekerja jadi kuli bangunan. Kak… Kakak tahu? Bangunannya menjulang tinggi sampai ke angkasa.

Uneg-uneg di dalam hati terhenti seketika begitu aku merasakan basah di tempat tidurmu. Ku lihat kau diam dan tetap tak berkutik.

“Kakak pipis?”

Ku rapikan dirimu yang terlihat seperti hewan saja. Tak mampu berpikir? Bukan! Kau tak mampu melakukan apa-apa. Aku masih ingat perkataanmu sewaktu penyakitmu masih memperbolehkanmu bicara.

“Bu… ka…kaaaloooo…. Nannnntiiii makiii…nnnnn….. para…..aahhhh….. berarti akuuu…… gaaa….bisaa…. apa-apaaa…….. Buuuu…… kakakkkk….. taaaakkkaaan…… bisaaaa….. melakukaaaannn…..apa yang……kakakkkkk…… maaaauuuuu…….”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun