Mohon tunggu...
Ulina Hotmaria Galingging
Ulina Hotmaria Galingging Mohon Tunggu... Guru - I Am Teacher

Pembelajar dari Alam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Derita Sebutir Nasi

25 Mei 2021   20:01 Diperbarui: 25 Mei 2021   20:31 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat membaca tagline lomba yang diprakarsai oleh "Bandung Food Smart City", aku seakan kembali ke masa kanak-kanak. Saat itu aku berdiri dibalik sebuah celah kecil yang terbentuk di dinding penutup sebuah rumah. Rumah itu terbuat dari papan berbahan dasar kayu. Aku mengintip untuk ikut menyaksikan sebuah serial televisi yang sangat popular di masa itu. Masa dimana belum banyak masyarakat yang memiliki televisi, aku sangat tergoda untuk ikut menyaksikan pertunjukan yang ditampilkannya.

Dari balik celah kecil itu, aku dapat menyaksikan sebuah layar berbentuk persegi agak cembung. Layar itu menampilkan pertunjukan kisah seorang anak perempuan yang sedang  menghitung butiran-butiran nasi yang jatuh dan tersisakan oleh pelanggan warung ayahnya. Aku seakan ikut terlarut dalam peran yang dimainkan oleh anak perempuan itu, aku dapat merasakan perasaan kecewa yang ditunjukkan melalui raut wajahnya yang kusaksikan dari celah kecil dibalik dinding penutup rumah.

Menyisahkan sebutir nasi mungkin bukanlah sebuah hal yang besar bagi banyak orang, namun bagi sebagian orang, hal itu dapat menimbulkan sebuah kekecewaan. Mungkin kita hanya berkata "ah, aku kan hanya menyisahkan sebutir nasi, hal itu tidak akan berdampak apa-apa". Namun jika hampir semua orang mengatakan hal yang sama, apakah kita dapat menghitung berapa banyak butiran nasi yang terbuang dan berapa banyak perut yang seharusnya dapat dikenyangkan.

Seperti sebuah pepatah yang mengatakan sedikit-sedikit, lama-lama jadi bukit, demikian juga dengan butiran-butiran nasi yang tersisa atau sengaja disisahkan oleh tuannya. Jika satu orang tuan menyisahkan satu butir nasi, maka bisa dipastikan butiran-butiran nasi yang tersisa akan dapat membentuk sebuah populasi kecil yang kemungkinan akan membentuk sebuah yang lebih populasi besar. Populasi ini akan membentuk sebuah ekosistem baru yang menghadirkan sebuah makhluk bernyawa.

Ketika butiran-butiran nasi itu berhasil menghadirkan sebuah makhluk bernyawa, apakah ia menjadi lebih bermakna jika dibandingkan saat ia hilang karena telah habis dimakan oleh tuannya?

Imajinasi tentang sebuah makhluk bernyawa tiba-tiba menarik aku kembali kesebuah dunia berbeda. Saat tersadar aku menyadari bahwa saat ini aku telah jauh pergi dari masa kanak-kanak. Aku menatap nanar sekeliling, berusaha mencerna  situasi yang saat ini kualami, akhirnya aku tau saat ini aku sedang berada pada masa dimana  pertama kali aku jauh dari rumah. Aku duduk di sebuah rumah makan bersama seorang teman yang baru saja mengatakan "aku kenyang". Aku berusaha mencerna sekali lagi setiap kata yang diucapkannya, belum selesai akal sehatku mecerna tiba-tiba perhatianku tertarik mengamati beberapa meja kosong yang baru saja ditinggalkan oleh tuannya. Diatas meja-meja itu aku menyaksikan beberapa piring dan mangkok yang masih terisi makanan sisa.

Tiba-tiba bayanganku kembali kepada makhluk-makhluk bernyawa yang baru tercipta oleh populasi butiran-butiran nasi. Aku tidak dapat membayangkan akan berapa banyak jenis makhluk bernyawa yang dapat tercipta dari beberapa populasi makanan sisa yang baru saja ditinggalkan oleh tuannya.

Sekarang mataku diarahkan pada sebuah piring yang ada dihadapanku, aku sangat yakin bahwa ini ada piring yang baru saja aku gunakan untuk makan. Akhirnya aku dapat bernafas lega, ketika aku melihat hampir tidak ada makanan sisa di atas piringku. Tiba-tiba hati ku berbisik "rakus".

"Rakus" mengapa hatiku yang suci bisa berbisik sekasar itu disaat aku merasa apa yang kulakukan adalah sebuah kebenaran. mengapa aku harus menjadi sosok yang aneh untuk diriku sendiri, disaat seharusnya aku mengatakan "PLEASE, STOP FOOD WASTE".

Seketika aku menyadari bahwa saat ini aku sedang berada pada dunia yang aneh. Dunia dimana banyak orang tidak menghargai makanan hanya karena ingin dihargai oleh orang lain, seakan aku dapat melihat sebuah tagline berjalan di udara dengan tulisan "yuk ciptakan jenis makhluk bernyawa yang baru", menciptakan sebuah jenis makhluk bernyawa baru seakan menjadi sebuah tren baru di duniaku yang ini.

Aku sungguh muak dengan duniaku saat ini, aku ingin pindah dan beralih pada dunia yang lain. Disaat kebingungan melanda aku memejamkan mata, menutup telinga dan mengalihkan pikiranku. Seketika saja aku seakan terbang dan berputar-putar pada sebuah terowongan gelap, aku menjadi sangat kalut, ketakutan dan mulai berteriak dengan kencang "PLEASE, STOP FOOD WASTE".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun