Simbah kakung (kakek) sedang asyik berkutat dengan reparasi sepeda, Mbah Putri (nenek) sedang santai sambil menyiangi sayuran untuk dimasak nanti siang. Sedangkan cucu laki-laki berusia lima tahun berisik menirukan suara mobil sambil menjalankan mobil kecil di halaman rumah dan cucu perempuan terlena sendiri dalam aktivitas pasaran (mainan) di bawah pohon korokeling. Tak lupa radio transistor jadul yang mengalunkan gamelan ala keraton terdengar sayup-sayup menambah kedamaian suasana di rumah papan ala kampung.Â
Sebuah kenangan syahdu yang selalu saya ingat tentang masa kecil saya.Â
musik yang merupakan hobi pertama yang saya kenali dan tak terpisahkan dalam kegiatan apapun dari sebelum kenal sekolah sampai mungkin akhir hayat.Â
Ngomongin soal mendengarkanJenis musik yang saya sukai pada awalnya adalah lagu-lagu dalam negeri pop Indonesia. Kenal juga lagu-lagunya Obbie Mesakh, Pance, Nia Daniati tapi kurang suka dengan jenis pop lagu-lagu tersebut.Â
Masih lebih suka lagu-lagu jadul miliknya Koes Plus, Tetty Kadi, Erni Johan Titik Sandora dan kawan-kawannya dengan catatan lagu jadul tersebut masih versi original belum digubah. Itu lagu-lagu angkatan orang tua saya yang tetap bisa saya nikmati.
Lain halnya dengan selera musik almarhum mbah-mbah saya yang hanya seputar gamelan Jawa klasik, yang biasa saya sebut klonengan, lalu wayang kulit, ketoprakan dan tembang-tembang Jawa era Waldjinah.Â
Jujur saja sebagai anak-anak yang beranjak ke remaja saya paling tak suka musik daerah tersebut. Bukannya tak cinta daerah, tapi seni musik kan soal selera.Â
Jadi kalau Mbah saya ketiduran sewaktu mendengarkan klonengan, biasanya radio saya matikan, ini saya lakukan karena mendengarkan musik gamelan terasa mengusik telinga saya.Â
Pokoknya saya tidak suka dan sampai kapan pun saya tidak akan pernah suka, musik yang terlalu santai, lirik lagu yang susah dinyanyikan dan intonasi yang juga sangat sulit ditirukan.
Lain dulu, lain pula sekarang. Seiring beranjaknya waktu, tak terasa sudah puluhan tahun meninggalkan masa kanak-kanak. Menjelajah dan terdampar di tanah rantau nan jauh nian dari tanah lahir.Â
Musik tetap bagian dari hidup keseharian saya ditambah dengan berada dilingkungan remaja yang selalu up to date, khazanah musik saya makin beragam, selain lagu Indonesia, lagu barat berbahasa Inggris dan lainnya, kini juga bertambah koleksi lagu asing saya yang berbahasa Korea.Â
Namun selain lagu-lagu kekinian saya juga mulai suka dengan musk gamelan Jawa yang justru sangat hidup di bumi Sriwijaya oleh warga Jawa yang telah menetap dan didukung oleh warga lokal yang bahkan dari suku lain.Â
Ketika benci mulai berubah jadi cinta. Apakah ini bisa disebut sebagai sweet karma?
Seperti petuah tentang cinta, "Jangan terlalu membenci nanti jatuh cinta." Begitulah, perlahan tapi pasti musik gamelan yang tadinya begitu mengusik telinga saya, sekarang terasa begitu syahdu mendayu-dayu.Â
Kecintaan saya terhadap musik gamelan berawal ketika saya menunggu seorang tamu dari Italia di sebuah hotel berbintang. Suasana hotel yang cukup elegan ditambah alunan lembut suara gamelan yang dimainkan secara live oleh seorang niyaga dalam bahasa Jawa biasa dipanggil yaga dan seorang sinden.Â
Jika orang asing saja bertekad untuk bisa memainkan gamelan, mengapa saya justru tidak suka? Dari sinilah saya mulai bisa menerima musik khas Jawa Tengah ini dan makin suka.
Mendengar alunan gamelan mendatangkan perasaan damai, tenang dan relax. Mungkin ini deskripsi yang berlebihan, tapi begitulah yang saya rasakan.Â
Kekaguman saya terhadap gamelan makin meningkat ketika di tanah rantau ini, saya terseret dalam sebuah grup paduan suara gereja yang menggunakan seratus persen gamelan sebagai alat musiknya.Â
Sebagai catatan saya tidak bisa bernyanyi, karena saya buta nada. Namun saya tetap bersedia ikut rombongan paduan suara ini, semata-mata saya ingin bersosialisasi, mengagumi gamelan, bisa memuliakan Tuhan lewat tembang dan tetap ingin budaya ini lestari.Â
Cukup bangga melihat budaya dari tanah lahir ini dimainkan di tanah rantau, bisa diterima dan banyak dikagumi. Dikarenakan anggota paduan suara yang mayoritas, bisa dibilang seluruhnya adalah ibu-ibu dan tidak hanya berasal dari lingkungan Jawa, ada Batak atau asli dari Palembang, maka lagu-lagu yang dibawakan kebanyakan memakai bahasa Indonesia, supaya tidak terjadi kesalahan dalam pengucapan kata. Namun tetap saja intonasinya memakai gaya Jawa.
Sebelum COVID paguyuban ini aktif mengisi acara pernikahan atau ibadah misa inkulturasi setiap malam satu sura (1 Muharram). Namun karena COVID, jadi terhenti sementara waktu.
Mengingat kembali perkataan saya sendiri waktu masih bocah, bahwa saya tidak akan suka gamelan, saya merasa seperti sedang kena batu atas omongan saya sendiri.Â
Istilah sweet karma yang baru saya dengar akhir-akhir ini, bisa sangat nyata dan indah dirasakan, sekaligus melengkapi kecintaan saya pada tanah lahir saya.Â
Sebuah budaya yang biasanya hanya generasi tua yang menikmati, kini bisa saya terima dengan senang hati, bahkan cukup mencintai. Namun dari sekian banyak jenis musik Jawa yang ada, jenis musik gamelan klasik instrumentallah yang paling saya suka.
Dikala cuaca sedang sangat panas, menikmati musik gamelan klasik sembari menatap langit biru dari balik jendela. Sejenak pejamkan mata, relax dan saya akan kembali pulang ke kampung halaman bersama mereka yang saya cintai dan mencintai saya, ketika saya hanya tahu asyiknya bermain dengan tanah.
Sebuah alunan gamelan Jawa klasik yang selalu menyertai saya ketika penat melanda, silakan didengarkan bila suka. .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H